Rabu, 28 Januari 2009

Manajemen Sistem Irigasi melalui Penilaian Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi dalam Budidaya Tanaman Pertanian

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, berkat rahmat Allah Yang Maha Berkehendak dan disertai dengan usaha tanpa lelah penyusun, akhirnya penyusunan makalah berjudul ”Manajemen Sistem Irigasi melalui Penilaian Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi dalam Budidaya Tanaman Pertanian” dapat terealisasikan dan terselesaikan tepat pada waktu yang telah ditetapkan.

Secara garis besar makalah ini berisikan tentang pengkajian terhadap pengelolaan tanah dan air dalam kaitannya untuk kebutuhan irigasi dalam budidaya tanaman pertanian. Disajikan di dalamnya kriterian kelas kesesuaian lahan yang agar dapat dinilai kesesuaiannya bagi kebutuhan irigasi secara lebih baik dan terarah.

Ucapan terima kasih kami kepada segenap dosen pembimbing mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air yang telah mengamanatkan tugas penyusunan makalah ini, kepada rekan-rekan satu kelompok, kepada rekan-rekan perkuliahan, dan kepada pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penyusunan makalah.

Harapan kami, semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat dijadikan suatu referensi ilmiah yang berguna bagi para pembaca yang memang berminat terhadap permasalahan pengelolaan tanah dan air untuk kebutuhan irigasi. Tak terlepas tentunya dengan harapan semoga saran dan kritik dari para pembaca dapat menjadi masukan yang berharga bagi penyusun.

Jatinangor, 10 November 2008

Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB 1 PENDAHULUAN 3

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Tujuan Penyusunan 3

BAB 2 PEMBAHASAN 4

2.1 Sistem Irigasi 4

2.1.1 Sistem irigasi sebagai sistem common pool resources 4

2.1.2 Sistem irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat 5

2.2 Evaluasi Lahan untuk Kebutuhan Irigasi 8

2.2.1 Tanah 8

2.2.2 Topografi 9

2.2.3 Drainase 11

2.3 Kelas Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi 11

BAB 3 PENUTUP 16

3.1 Kesimpulan 16

3.2 Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Self governance pengelolaan sumber daya air telah diimplementasikan dalam sistem Subak di Bali selama berabad-abad dengan berlandaskan harmoni dan kebersamaan yang berpedoman kepada filosofi Tri Hita Karana ~ harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antara manusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia. Ketiga harmoni tersebut menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai (DAS) (Sudaratmaja dan Soethama 2003). Sistem Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan seyogyanya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development) telah diimplementasikan dalam sistem Subak.

Untuk mengelola suatu lahan dengan sistem irigasi seperti sistem Subak diperlukan suatu survai dan evaluasi terhadap lahan yang memadai agar perwujudan multifungsi ekosistem pertanian dapat terlaksana secara nyata. Hal ini dimaksudkan sebagai penilaian terhadap kriteria irigasi secara teknis, apakah sistem irigasi tersebut telah sesuai dengan kebutuhan lahannya apabila dikaitkan dengan nilai-nilai kelas kesesuaian lahan yang ada.

1.2 Tujuan Penyusunan

Penyusunan makalah bertajuk Sistem dan Teknik dalam Pengaturan Air Irigasi ini menitikberatkan kepada seberapa besar pengaruh pengelolaan sistem irigasi terhadap evaluasi lahan untuk kebutuhan irigasi itu sendiri. Sehingga tujuan utama makalah ini adalah untuk menilai sejauh mana irigasi dibutuhkan bagi suatu lahan jika dinilai berdasarkan kelas kesesuaian lahannya.


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Irigasi

Dalam pengertian yang sederhana, irigasi adalah usaha untuk menyediakan dan mengatur air dalam menunjang pelaksanaan kegiatan budidaya tanaman pertanian. Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaannya. Daerah Irigasi (DI) adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

Pembangunan sistem irigasi diperlukan terutama untuk daerah-daerah di mana air merupakan pembatas utama bagi pengembangan pertanian. Di samping itu pembangunan sistem irigasi sangat diperlukan untuk peningkatan intensitas penggunaan lahan, baik untuk tanaman palawija maupun padi sawah agar pengelolaannya melalui evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan.

Oleh sebab itu, perencanaan irigasi dalam pengelolaannya sebagai suatu sistem perlu memperhatikan tiga aspek penting, yaitu:

2.1.1 Sistem irigasi sebagai sistem common pool resources

Dilihat dari karakteristik sumberdayanya maka sumber air dan segala aspek pemanfaatannya bersifat sumberdaya milik bersama (common pool resource) dan polisentris (Ostrom, 1990). Sifat tersebut sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya, biaya pembatasnya (exclusion cost) menjadi tinggi, pengambilan suatu unit sumberdaya akan mengurangi kesediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya (substractibility atau rivalry). Akibatnya setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia untuk berkontribusi terhadap penyediaannya atau pelestariannya dan rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih atau kerusakan sumberdaya. Hal ini dikenal sebagai tragedy of the commons (Harding, 1968). Tragedi ini bias terjadi jika tidak ada pembatasan, aturan, pemanfaatan sumberdaya sehingga bersifat akses terbuka (open access). Alokasi sumberdaya milik bersama dilakukan dengan mengatur (Hardin, 1968): (i) akses terhadap sumberdaya; dan (ii) aturan pemanfaatannya melalui privatisasi (private property rights) atau kepemilikan Negara (state property rights). Kebijakan ini tidak selalu berhasil dilakukan pada sumberdaya milik negara, karena pengelola tidak dapat mengatasi: (i) biaya transaksi yang tinggi dalam penegakan aturan atau penjagaan sumberdaya, seperti biaya pengawasan, personil, dsb, sehingga penumpang bebas (free rider) tidak dapat dikontrol; (ii) tindakan oportunis (opportunistic behavior) berupa perburuan rente (rent-seeking) oleh aparat pengawas lapangan. Oleh sebab itu sistem irigasi yang bersifat common pool resources dan sekaligus polisentrisitas akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan berdialog untuk berkomitmen dan membangun konsensus (Ostrom, 1990).

2.1.2 Sistem irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat

Sistem irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat saling bergantung secara erat dalam suatu keadaan ketersediaan air yang dinamis baik secara spasial maupun temporal (Pusposutardjo dan Arif, 1999; Arif, 2006). Sebagai sistem sosio-kultural masyarakat, Arif (2006) menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sistem irigasi tergantung pada: (i) azas legal dan tujuan manajemen yang jelas; (ii) modal (aset) dasar yang kuat; dan (iii) sistem manajemen yang handal untuk dapat mewujudkan tujuan manajemen yang telah disusun lengkap dengan kriteria keberhasilannya.

(1) azas legal dan tujuan manajemen irigasi

Keberadaan dan keberhasilan manajemen sistem irigasi saat ini masih didominasi dan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai regulador dan pengelolaan di aras DI. Sebagai contoh, semua kebijakan harus mengacu kepada UU no 7/2004 dan PP no 20/2006 dengan pokok-pokok isi: (i) azas good governance sebagai bingkai azas pembangunan keberlanjutan,kerakyatan dan manajemen provisi (Pasal 2 s/d Pasal 6); dan (ii) azas partisipatif (pasal 84). Pasal-pasal tersebut sesuai dengan takrif tentang good governance dan manajemen proviso (UN-ESCAP, 2005, Huppert et al, 2001). Pasal 34 ayat (1) UU no 7/2004 mengatur tentang pengembangan sumberdaya air untuk penyediaan air baku bagi berbagai keperluan termasuk pertanian, kemudian diikuti Pasal 41 ayat (1) sampai (6) serta Pasal 64 ayat 6 tentang operasi dan pemeliharaan irigasi. Seluruh pasal-pasal tersebut secara umum berlaku pula untuk kebijakan pengelolaan irigasi.

Pasal 41 menjelaskan tentang kewenangan pengelolaan irigasi utama (primer dan sekunder) DI (luas > 3000 ha) berada di bawah pemerintah pusat, DI 1000 ha–3000 ha kewenangan pemerintah provinsi dan DI <>

Pengembalian kewenangan pemerintah pusat/daerah sebagai pengelola irigasi jaringanutama sama dengan PP 23/1982 (mengacu UU no 11/1974). Beberapa perubahannya adalah: (i) tujuan irigasi bukan untuk swa sembada pangan (beras), tetapi juga untuk pencapaian ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Perubahan dimulai sejak PKPI (1999) dan didukung oleh UU no 12/1992 tentang budidaya tanam; (ii) dasar manajemen irigasi berubah dari produksi menjadi provisi (manajemen pelayanan), pemanfaatannya melalui penetapan dan kesepakatan bersama. Manajemen provisi mengacu pada: (i) azas demokratisasi dan desentralisasi otonomi pemerintahan (UU no 32/2004 dan UU no 7/2004 Ps 2 s/d Ps 6) atas dasar partisipasi dan dialog; (ii) perubahan fungsi air dari sosial menjadi ekonomi dan lingkungan (Ps. 3 s/d 6 UU no 7/2004); (iii) adanya kemajuan teknologi informasi, sehingga masyarakat menjadi terbuka dan kaya informasi.

(2) modal (aset) dasar irigasi

PP no 20/2006 menetapkan bahwa aset sistem irigasi terdiri atas: (i) prasarana jaringan irigasi, dan (ii) aset pendukung pengelolaan irigasi, terdiri atas kelembagaan pengelolaan irigasi, sumberdaya pendukung serta fasilitas pendukung. Agar tercapai keberhasilan manajemen sistem irigasi maka perlu ditambah aset ketersediaan sumberdaya air yang handal, dukungan finansial dan teknologi sepadan.

i) ketersediaan air irigasi

Ketersediaan air irigasi yang kontinyu sepanjang tahun merupakan suatu modal dasar yang sangat esensial. Informasi tentang keberadaan dan ketersediaan air irigasi berbasis waktu merupakan sesuatu yang mutlak untuk dipunyai pengelola sebagai sarana pengambilan keputusan yang jitu untuk melayani para pengguna dan pemanfaatnya. Informasi yang handal diperoleh dari: (i) prasarana, berupa alat ukur yang selalu terkalibrasi; (ii) tata cara pengumpulan informasi yang benar, (iii) profesionalisme dan kompetensi tenaga kerja analis data, (iv) sistem penyimpanan beserta analisis data yang tersistem, handal, akurat, mudah dan murah. Ketersediaan air irigasi juga dipengaruhi oleh hak guna atas air di aras Daerah Aliran Sungai (DAS), sedangkan secara spasial di dalam suatu daerah irigasi sebaran ketersediaan air

juga sangat dipengaruhi pula oleh hak guna air irigasi di antara pemakainya.

(ii) teknologi untuk pelaksanaan manajemen irigasi

Teknologi untuk manajemen irigasi berupa penggunaan alat, mesin serta pengetahuan untuk mendapatkan cara irigasi secara efisien. Bentuk teknologi dalam pengelolaan irigasi adalah: (i) sistem prasarana irigasi; (ii) prosedur dan sistem informasi operasi dan pemeliharaan irigasi. Teknologi pengelolaan irigasi beragam dari satu ke DI lain karena aspek sosio-teknis yang terkandung dalam sistem irigasi. Oleh sebab itu perlu dikembangkan suatu teknologi sepadan yang paling sesuai untuk masing-masing DI melalui tindakan perencanaan, perancangan dan pembangunan yang berurutan, kesamaan asumsi diantara stakeholders agar dapat melakukan tindakan manajemen irigasi secara sepadan.

(iii) Sumberdaya manusia dan Institusi irigasi

Kompetensi SDM dalam hal tepat jumlah dan sasaran merupakan syarat tercapainya pengelolaan irigasi secara handal dan sepadan. Institusi irigasi, bentuk rule in-use dan organisasi pelaksana yang terstruktur, merupakan kelengkapan pengelolaan irigasi yang sepadan. Dalam UU no 7/2004 dan PP no 20/2006, institusi pengelola irigasi hádala pemerintah dan petani serta perlu dibentuk komisi irigasi kabupaten dan provinsi. Untuk DI multiguna dapat membentuk forum komunikasi antar pengguna di aras DI.

(iv) dukungan finansial

Dukungan finansial merupakan komponen penting dalam sistem manajemen. UU no. 7/2004 dan PP no 20/2006 menyebutkan bahwa kewenangan pengelolaan irigasi juga melekat sistem pembiayaannya. Masing-masing pihak pengelola sistem irigasi dibebani tanggung jawab pembiayaan, lembaga (bentuk, struktur) dan prosedur pengelolaannya.

(3) Pelaksanaan manajemen sepadan dan kriteria keberhasilan

Tujuan pengelolaan irigasi yang ingin dicapai perlu dukungan aturan dan kriteria yang dibangun atas dasar kesepakatan antar stakeholders pelaksana manajemen irigasi asas provinsi. Aturan pelaksanaan atas dasar manajemen sepadan, sesuai kebutuhan masing-masing DI lengkap dengan kriteria keberhasilan manajemen.

2.2 Evaluasi Lahan untuk Kebutuhan Irigasi

Evaluasi lahan untuk irigasi bertujuan untuk menetapkan penggunaan tanah dan air secara tepat meliputi perencanaan sistem jaringan irigasi, kebutuhan air untuk irigasi, luas usaha tani, serta operasi dan pemeliharaannya. Dalam hal ini perlu diperhatikan antara lain sifat-sifat lahan, luas lahan yang diairi, letak dan jumlah sumber air yang tersedia, biaya yang diperlukan, dan sebagainya. Hasil-hasil survai tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk evaluasi yang dimaksud.

Faktor-faktor yang dinilai dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi meliputi faktor-faktor tanah, topografi, dan drainase. Faktor-faktor yang berkaitan dengan ekonomi tidak dinilai secara khusus tetapi diperhatikan secara kualitatif.

2.2.1 Tanah

Tanah dinilai berdasarkan atas tekstur lapisan atas dan lapisan bawah, ke dalam sampai lapisan pasir, kerikil, dan lapisan kedap air, kedalaman efektif, kapasitas air tersedia, permeabilitas, alkalinitas, dan salinitas.

Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah menahan dan meresapkan air. Karena itu, tekstur tanah dapat juga menjadi petunjuk tentang besarnya kapasitas air tersedia di dalam tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar akan mempunyai daya penahan air yang rendah, sehingga air mudah meresap dan kapasitas air tersedia menjadi kecil. Dalam hal ini perlu diperhatikan baik tekstur lapisan atas maupun lapisan bawah karena perbedaan tekstur di kedua lapisan tersebut juga menentukan kemampuan tanah menahan air ataupun meresapkan air.

Kedalaman sampai lapisan pasir/kerikil atau lapisan kedap air juga penting pengaruhnya terhadap kemampuan tanah menahan air, keadaan drainase, kapasitas air tersedia, permeabilitas, perkembangan akar, dan sifat-sifat fisik tanah lain yang berhubungan dengan itu.

Alkalinitas dan salinitas penting untuk menunjukkan banyaknya air yang diperlukan dalam mencuci garam -garam yang ada sehingga tidak menjadi racun bagi tanaman. Tanah-tanah dengan alkalinitas dan salinitas tinggi umumnya ditemukan di daerah beriklim kering (arid) sehingga di Indonesia jarang ditemukan. Tanah-tanah dengan salinitas tinggi di daerah pantai terjadi karena pengaruh air laut. Tingkat kesuburan tanah tidak digunakan sebagai faktor penciri karena merupakan sifat yang mudah diubah.

2.2.2 Topografi

Topografi sering merupakan faktor utama dalam menilai kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi karena akan mempengaruhi :

- Metode (sistem) irigasi yang akan dibuat,

- Pembuatan saluran drainase,

- Erosi,

- Efisiensi irigasi,

- Biaya-biaya penyiapan lahan (perataan dan sebagainya),

- Ukuran dan bentuk petak,

- Keperluan tenaga,dan

- Tanaman yang mungkin diusahakan

Empat aspek topografi yang sangat mempengaruhi kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi adalah :

- Lereng

Faktor lereng yang perlu diperhatikan meliputi kecuraman, panjang, dan bentuk lereng. Lereng yang lebih curam selain memerlukan tenaga dan ongkos yang lebih besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lereng-lereng dengan kecuraman yang sama tetapi mempunyi bentuk yang tidak seragam dan pendek.

- Relief mikro

Relief mikro menunjukkan permukaan tanah yang tidak rata dengan perbedaan tinggi antara puncak dan lembah maksimum 5 m. Untuk kebutuhan irigasi, lahan seperti ini perlu diratakan. Besarnya perataan tergantung dari besarnya relief tersebut serta sistem irigasi yang akan dibuat (gravitasi/permukaan, sprinkler, dan sebagainya). Hal-hal tersebut mempengaruhi besarnya biaya yang diperlukan sesuai dengan besarnya: ”cut and fill”, banyaknya tanah yang dipindahkan, jarak pemindahan, sifat-sifat tanah, dan sebagainya. Tebal top soil dan sifat-sifat subsoil juga menentukan biaya penyiapan lahan untuk kebutuhan irigasi. Apabila top soil harus dipisahkan dulu, baru kemudian dikembalikan setelah perataan selesai, biaya akan meningkat. Kadang-kadang hal ini tidak dilakukan karena subsoil yang pada awalnya tidak produktif dapat pula menjadi lebih produktif setelah diberikan air irigasi, pemupukan, penambahan bahan organik, dan sebagainya.

- Relief makro

Dengan metode (sistem) irigasi permukaan (gravitasi) relief makro sangat menentukan apakah suatu lahan dapat dialiri atau tidak. Daerah berbukit dengan banyak puncak akan lebih sulit dirancang untuk irigasi daripada daerah dengan puncak tunggal. Daerah-daerah tersebut tidak mungkin diratakan tetapi masih mungkin dibuat teras sesuai dengan sifat tanah dan kemiringan lerengnya. Daerah dengan banyak puncak akan menyulitkan pembuatan saluran irigasi untuk menyebarkan air ke bagian daerah tertentu.

Ketinggian daerah yang akan diairi dibandingkan dengan kemiringan dan sumber airnya juga sangat menentukan kemungkinan pengembangan irigasi dengan sistem gravitasi di suatu daerah. Bentuk topografi di mana lereng sering tidak teratur kemiringan dan arahnya akan mempengaruhi sistem irigasi yang akan digunakan, ukuran, dan bentuk petak serta biaya penyiapan lahan. Ukuran dan bentuk petak perlu diperhatikan terutama untuk irigasi gravitasi (permukaan) dan untuk mekanisasi.

- Posisi

Letak ketinggian (elevasi) dan jarak dari sumber air menentukan apakah suatu lahan dapat diairi dengan sistem gravitasi. Untuk itu perlu usaha lain misalnya dengan pompa, terowongan air atau talang untuk menembus penghalang-penghalang alami ataupun yang dibuat manusia. Data topografi juga penting untuk mengetahui bahaya banjir dan rancangan pengendaliannya, serta rancangan untuk saluran-saluran drainase permukaan ataupun bawah tanah.

2.2.3 Drainase

Drainase tanah menunjukkan kecepatan hilangnya air dari tanah baik melalui aliran permukaan maupun melalui peresapan ke dalam tanah. Lahan di mana air tidak mudah hilang dari tanah disebut lahan yang berdrainase buruk.

Untuk tanaman lahan kering (palawija, kebun campuran, dan lain-lain) lahan berdrainase buruk perlu dibuatkan saluran-saluran pembuang air (saluran drainase) agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Irigasi untuk tanaman lahan kering bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat-saat diperlukan, tetapi harus dijaga agar jangan sampai terjadi genangan yang berlebihan sehingga mengganggu perakaran tanaman. Karena itu saluran-saluran pembuangan air (saluran drainase) sangat diperlukan untuk tanah-tanah berdrainase buruk. Drainase dalam yang baik sedalam 40-50 cm atau lebih, dibutuhkan tanaman yang memerlukan aerasi yang baik seperti jagung, kacang-kacangan, dan lain-lain.

Berbeda dengan tanaman palawija, padi sawah dapat tumbuh baik pada tanah-tanah yang berdrainase buruk. Tanah-tanah dengan permeabilitas yang lambat masih baik untuk padi, tetapi kurang baik untuk tanaman palawija. Karena itu kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah terutama yang berkaitan dengan drainase dan permeabilitas perlu dibedakan dengan tanaman palawija.

2.3 Kelas Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi

Dengan memperhatikan kerangka evaluasi FAO (1976) dan sistem USBR (1953), klasifikasi kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi dibedakan ke dalam:

· Kelas

Kelas 1 = Sangat sesuai

Kelas 2 = Cukup sesuai

Kelas 3 = Agak sesuai

Kelas 4 = Sesuai marginal

Kelas 5 = Sementara tidak sesuai

Kelas 6 = Tidak sesuai selamanya

· Subkelas: Dibedakan dengan jenis faktor penghambatnya dalam masing-masing kelas.

· Unit: Dibedakan dengan jenis faktor penghambat dalam masing-masing subkelas.

Untuk pemetaan tanah semi detail (1:50.000) klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan sampai tingkat subkelas.

Lahan Kelas 1, 2, 3 merupakan lahan yang sesuai untuk irigasi dengan kelas kesesuaian lahan yang berturut-turut semakin rendah karena besarnya faktor penghambat yang semakin meningkat.

Lahan Kelas 4 merupakan lahan yang sesuai untuk irigasi dengan pengelolaan khusus. Hambatan-hambatan yang ditemukan pada lahan ini untuk penggunaan khusus, secara ekonomis masih dapat diatasi.

Lahan Kelas 5 merupakan pengkelasan sementara, dimana pada saat survai dilakukan lahan tidak sesuai untuk irigasi, tetapi dengan usaha-usahatertentu diperkirakan dapat menjadi lahan yang sesuai. Perlu penelitian lebih lanjut apakah usaha-usaha perbaikan tersebut secara ekonomis masih dapat diatasi.

Lahan Kelas 5 dapat mempunyai penghambat khusus seperti salinitasyang tinggi, topografi berbukit, hamparan batuan atau laterit pada kedalaman kurang dari 150 cm, dan sebagainya. Termasuk juga Lahan Kelas 5 adalah lahan yang sesuai untuk pertanian tetapi merupakan daerah sempit yang terisolasi dalam. Demikian juga lahan yang sesuai untuk pertanian tetapi terletak pada tempat yang lebih tinggi dari sumber air sehingga dengan sistem irigasi gravitasi tidak mungkin diairi. Apabila irigasi dilakukan dengan pompa, lahan ini dapat menjadi lahan yang sesuai untuk irigasi.

Lahan Kelas 5 untuk irigasi dipisahkan hanya bila kondisi daerah memerlukan pertimbangan lebih lanjut tentang lahan dalam hubungannya dengan proyek irigasi, misalnya: jika persediaan air masih cukup banyak atau kekurangan jumlah lahan yang baik diperlukan, mendesaknya rehabilitasi atau pemukiman kembali, dan sebagainya.

Lahan Kelas 5 merupakan kelas sementara dan berdasarkan penelaahan lebih lanjut tentang kemungkinan perbaikan secara ekonomis, kelas kesesuaian lahan dapat berubah menjadi lahan sesuai atau lahan tidak sesuai selamanya (Kelas 6).

Lahan Kelas 6 merupakan lahan yang tidak sesuai selamanya untuk pertanian irigasi. Hambatan-hambatan yang ditemukan, secara ekonomis dan fisik tidak dapat diatasi.

Lahan Kelas 6 umumnya terdiri dari lahan yang curam, bergunung, tererosi berat, tekstur sangat kasar, tanah dangkal di atas kerikil, napal (shale), batu pasir, atau lahan yang berdrainase sangat buruk ataupun terlalu sering kebanjiran (flood) yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki.

Kelas lahan selanjutnya dibagi ke dalam subkelas yang menunjukkan jenis faktor penghambat terberat sehingga dimasukkan ke dalam subkelas tersebut. Subkelas ditunjukkan dengan menambah huruf kecil atau kombinasi beberapa huruf kecil di belakang kelas yang masing-masing menunjukkan jenis faktor penghambat terberat tersebut. Huruf-huruf kecil yang digunakan adalah s: tanah, t: topografi, dan d: drainase.

Contohnya subkelas 2s adalah lahan yang termasuk Kelas 2 dengan tanah sebagai faktor penghambat utama. Faktor penghambat tanah tersebut dapat berupa tekstur tanah ataupun kedalaman tanah. Subkelas 3ts berarti Lahan Kelas 3 dengan faktor penghambat utama topografi dan tanah. Pada tabel 1 disajikan kriteria klasifikasi kesesuaian lahan untuk irigasi bagi tanaman padi sawah sedangkan tabel 2 disajikan kriteria bagi tanaman semusim lahan kering.

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Lahan untuk Irigasi Tanaman Padi Sawah


Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Lahan untuk Irigasi Tanaman Semusim Lahan Kering



BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam penyusunan makalah ini kami akan menguraikan beberapa benang merah yang termuat kedalam bahasan kesimpulan sehingga permasalahan mengenai pengelolaan tanah melalui manajemen teknik irigasi ini lebih terarah. Beberapa kesimpulan yang dapat dijabarkan antara lain :

* Untuk mengelola suatu lahan dengan sistem irigasi diperlukan suatu survai dan evaluasi terhadap lahan yang memadai sehingga multifungsi ekosistem pertanian dapat terlaksana secara nyata.

* Kelas kesesuaian lahan sangat mendukung pengalokasian serta pengimplementasian lahan irigasi.

* Sifat fleksibel dari kajian pengelolaa tanah ini sangat berkaitan atau adanya interdependesi satu sama lain dengan tingkat presisi survai hingga evaluasi kesesuaian lahan

3.2 Saran

Rekomendasi yang hendak diterapkan dalam makalah ini dapat dipaparkan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan pemahaman pembaca, antara lain:

* Dalam penentuan alokasi petak irigasi diperlukan beberapa pertimbangan evaluasi hingga kesesuaian lahan yang ada

* Kebutuhan tanaman serta karakteristik tanah wajib diperhatikan sebagai prioritas dalam pengelolaan tanah dan air

* Teknologi serta teknik irigasi hingga drainase yang ”up date” harus terus digenjot sedemikian rupa sehingga keberhasilan dalam produksi pertanian dapat terus ditingkatkan


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Sigit S., dkk. 2007. Pengembangan Konsep Sistem Operasi dan Pemeliharaan Daerah Irigasi Multiguna dengan Membangun Komitmen untuk Berbuat Konsensus Antar Pelaku: Sebuah Kasus di Jawa Timur. Universitas Gadjah Mada beserta Instansi-Instansi terkait.

Fagi, Achmad M. 2007. Menyiasati Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian Masa Depan. Iptek Tanaman Pangan Vol 2 No 1.

Hidayat, Anwar. 2001. Irigasi dan Budidaya Tanaman. Prosiding Seminar Tani: Program Pengembangan Keahlian Budidaya Tanaman. Depdiknas.

Kartasapoetra, A.G., dkk. 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Kertonegoro, Bambang Djadmo; Syamsul Arifin Siradz. 2006. Kamus Istilah Ilmu Tanah. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah tentang Irigasi no 23/1982.

Salim, E. Hidayat; Siti Mariam 2007. Pengelolaan Tanah dan Air (Bahan Kuliah). Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Reklamasi Lahan Rawa dan Pasang Surut Sebagai Suatu Aset Sumberdaya Alam Indonesia

BAB II

LAHAN RAWA DAN PASANG SURUT SEBAGAI SUMBERDAYA YANG TERSEMBUNYI

2.1. Gambaran Karakteristik Tanah Rawa /Gambut dan Lahan Pasang Surut di Indonesia

Pengusahaan pertanian dengan kehutanan merupakan keharusan, apabila dihubungkan dengan alokasi tempat yang sesuai sebagai penyangga serta penyeimbang lingkungan hidup. Keberlangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain yang ada di muka bumi ini tidak terlepas dari keseimbangan ekosistem yang ada, yang mana sumberdaya pertanian untuk pemenuhan “kebutuhan perut”, sedangkan sumberdaya kehutanan untuk penyangga serta mulai dari penyuplai oksigen hingga ketersediaan papan. Akan tetapi seiring dengan pertumbuhan serta ledakan populasi penduduk yang melebihi ketersediaan sumberdaya pemenuhan kebutuhan sudah tidak seimbang, sungguh sangat ironis.

Daerah rawa merupakan karakteristik yang unik pembentuk serta perangsang peningkatan potensi pemenuhan kebutuhan tersebut yang belum dikembangkan secara maksimal, namun kembali kepada kaidah konservasi hingga rehabilitasi guna mengerem laju eksplorasi hingga eksploitasi yang ada.

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu tergenang karena jeleknya atau tidak adanya system drainase alami. Sementara itu tempat terjadinya daerah awa tidak dibatasi oleh ketinggian (elevasi) lahan. Di tempat yang tinggipun dapat ditemukan daerah rawa di depresi geologis. Genangan air di daerah depresi ini terjadi karena terkumpulnya limpasan air hujan pada cekungan tersebut, sirkulasi air data terjadi karena adanya evaporasi dan tambahan lewat air tanah.

Daerah rawa mempunyai arti penting secara hidrologis bagi lingkungan fisik system hidrologi sungai. Daerah rawa di suatu daerah genangan banjir sungai, dapat berfungsi sebagai filter yang dapat menjernihkan air sebelum masuk ke sungai. Air limpasan dari daerah lebih tinggi mangalir masuk ke daerah rawa, karena adanya tumbuh-tumbuhan di daerah rawa tersebut, kecepatan aliran menjadi kecil yang mengakibatkan terendapkan sediment suspensi, oleh karena itu pada waktu meninggalkan daerah rawa, air tersebut sudah menjadi lebih jernih. Daerah rawa juga dapat berfungsi sebagai reservoir air yang dapat menjaga keberadaan air tanah di daerah di atasnya.

Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan cirri biologi: terdapat ikan-ikan awa, tumbuhan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.

2.2. Perspektif Lingkungan Rawa dan Lahan Gambut

Menurut penuturan Mulyanto dan Sumawinata (2007), lahan gambut merupakan deposit karbon, seperti halnya minyak bumi dan batubara. Jika dipelajari proses evolusi pembentukannya, deposit batubara senantiasa dimulai dari proses pembentukan gambut (peat) terlebih dahulu, kemudian deposit gambut mengalami deposisi bahan baru diatas gambut dan gambut selanjutnya mengalami kompresi membentuk batubara muda (lignite) dan kompresi lanjut dari batuhara muda ini akan membentuk batubara (ant rachite). Oleh karena itu isu-isu tentang karbon, baik yang berkaitan dengan deposit karbon (carbon stock), pelepasan karbon (carbcn re/ease), rosot karbon (carbon sink) dan bahkan sampai ke isu tentang perdagangan karbon (carbon trade ) terkait juga dengan pengelolaan lahan gambut.

Hubungan antara isu-isu tentang karbon dengan pengelolaan gambut di Indonesia menjadi semakin penting, karena sekitar setengah dari lahan gambut di daerah tropika berada di Indonesia. Menurut Bellamy (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) di Dunia terdapat kurang lebih 400 juta hektar lahan gambut, 90 persen di antaranya berada di daerah temperate dan 10 persen sisanya berada di daerah tropika. Sementara itu, menurut Rajaguguk (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20 juta hektar. Lahangambut ini berada dalam lahan rawa Indonesia yang lebih kurang 33 juta hektar (Widjaja-Adhi, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)). Lahan gambut ini tersebar di Sumatra (41,4%), Kalimantan (22,8%), Papua (23%), Sulawesi (1,6%) dan Halmahera-Seram (0,5%) (Mulyanto dan Sumawinata (2007).

Prof H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) mengemukakan luas total daerah rawa dan pasang surut diperkirakan 39.424.500 hektar (17% dari luas dataran Indonesia) dan tersebar di empat pulau besar, terdiri dari : (1) Rawa Pedalaman (Lebak) kira-kira 32.424.500 hektar, dan (2) Rawa Pantai (Pasang Surut) kira-kira 7.000.000 hektar. Seluas 27 juta hektar (11,5 % daratan Indonesia0 merupakan tanah gambut (Organosol, Histosol).

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp). Oleh karena dalam lingkungan rawa, maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah alluvial (Entosols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organic, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organic (Histosols) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Daerah rawa bergambut ini pada umumnya datar dan terletak diantara dua sungai besar. Meskipun disebut datar lahan rawa bergambut ini pada umumnya berbentuk kubah (dome), sehingga terdapat beda ketinggian (elevation) antara pinggir sungai dan posisi tengah diantara dua sungai tersebut sebagai puncak dome, sehingga memungkinkan terjadi pergerakan air dari puncak dome ke arah pinggir sungai. Pergerakan air inilah yang memungkinkan ekosistem rawa bergambut dapat menunjang kehidupan. Secara umum di antara sungai-sungai di daerah ini dapat dipandang sebagai suatu unit 'pulau' yang mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik geografi yang semacam itu berhubungan erat dengan karaktersitik tanah dan juga karakteritik vegetasi hutan yang tumbuh di atasnya. Hubungan antara elevasi, kedalaman gambut dan karakteristik hutannya dapat dilihat dari transek yang dibuat oleh Mulyanto dan Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007). antara S. Kahayan dan S. Sebangau. (Gambar 1).

Gambar ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan elevasi, semakin jauh dari pinggir sungai maka semakin tebal lapisan gambutnya. Hal ini menunjukkan adanya bentuk dome tersebut dengan puncaknya di sekitar tengah 'pulau. Ketebalan gambut di puncak dome dapat lebih dari 10 meter. Keadaan bentuk lahan yang demikian, dan juga keadaan topografi dan jenis bahan yang menjadi dasar pembentukan gambut akan sangat mempengaruhi beberapa karakteritik tanah dan selanjutnya mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Gambar 1. Profil melintang bahan gambut antara Sungai Kahayan dan Sebangau, Kalimantan Tengah [Mulyanto dan Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)]

Tanah mineral merupakan bagian lapisan dasar yang muncul setempat ke permukaan. Dasar lahan rawa bergambut adalah bahan sedimen mineral dengan berbagai karakteristik (Tabel 1). Karakteristik sediment ini sangat tergantung pada proses pembentukannya dan karakteristik ekosistem pada saat sediment tersebut terbentuk. Sedimen yang terbentuk dalam ekosistem air payau (brackish water) ditandai oleh banyaknya serpihan kayu dan adanya mineral pirit (FeS 2) sebagai mineral yang perlu diwaspadai pada saat akan mengelola lahan rawa bergambut, karena merupakan potensi sulfat masam. Sementara itu, apabila sedimen ini terbentuk di lingkungan air tawar (fresh water) sedimen tersebut relatif bersih, tidak banyak mengandung serpihan kayu dan tidak mengandung mineral pirit (FeS2), sehingga dikhawatirkan adanya bahaya sulfat masam (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Tabel 1. Contoh-contoh perbedaan karakteristik sedimen bawah gambut oleh karena perbedaan

lingkungan pembentukannya (Sumawinata, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

2.2.1. Pengaruh Spesifik Lahan Pasang Surut Terhadap Keseimbangan Ekologi

Menurut Mulyanto dan Sumawinata, 2007 disamping karakteristik sedimen yang menjadi dasar rawa, pengaruh pasang surut juga sangat berpengaruh terhadap ekosistem lahan rawa saat ini. Tanah gambut di di lapangan dapat mengandung air sekitar 500 persen dari bobot keringnya. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya kualitas tanah rawa gambut sangat ditentukan oleh kualitas airnya. Karakteristik lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut akan sangat berbeda dengan karakteristik lingkungan rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Karakteristik rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut pada umumnya airnya merupakan percampuran air tawar dan air laut , sehingga dalam batas tertentu, jika kadar garamnya tidak berlebihan, akan mempunyai daya dukung terhadap kehidupan yang lebih baik daripada yang hanya mengandung air tawar, karena kandungan unsur haranya lebih baik. Oleh karena itu, pengaruh pasang surut air laut sangat penting dipergunakan dalam penyusunan basis aturan.

Secara alami, ekosistem rawa, termasuk juga ekosistem lahan gambut, merupakan ekosistem yang memberi hasil yang cukup, terutama hasil-hasil perikanan air tawar ataupun air payau. Pada saat masih tertutupi dengan vegetasi hutan, lahan rawa ini memberi banyak hasil bagi masyarakat, baik yang berupa hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, obat- obatan dsb. Disamping itu, lahan rawa ini juga merupakan komponen pengatur hidrologi ekosistem lahan rawa. Secara tradisional orang-orang Banjar, Bugis telah mengelola lahan rawa bergambut ini untuk relatif bersinambungan dalam unit ekosistem lahan gambut (Mulyanto et al., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Sementara itu, lahan rawa gambut yang dibuka untuk pertanian, seperti lahan lokasi Projek Lahan Gambut 1 juta hektar, tidak memberikan hasil dan bahkan hasil-hasil perikanan rawa malah menunjukkan penurunan oleh karena kerusakan ekosistemnya. (Mulyanto, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

2.3. Reklamasi Tanah Rawa Gambut dan Pasang Surut Sebuah Solusi Aktif dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Banyak pendapat tentang data kuantitatif yang dikembangkan tentang satuan luasan lahan pasang surut dan rawa, selain pernyataan Prof. H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) adapula penuturan Suriadikarta dan Sutriadi (2007) luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,10 juta ha, sekitar 20-30% di antaranya berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini baru sekitar 3-4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi. Pembukaan lahan rawa pasang surut memerlukan perencanaan yang matang dan hati-hati supaya tidak mengalami kegagalan, karena lahan rawa bersifat rapuh (fragile). Dalam menentukan jenis-jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah rawa pasang surut yang akan dikembangkan.

Pengembangan lahan pasang surut yang dilaksanakan pemerintah pada tahap awal (tahap I) berupa pembangunan sistem drainasi terbuka, tanpa bangunan pengendalian aliran air, dilengkapi dengan penyiapan lahan, rumah-rumah, jaringan jalan, jembatan sekolah dan sarana kesehaan. Pada mulanya lahan ini menunjukkan produksi padi di sawah yang cukup tinggi, namun dalam perkembangan selanjutnya sistem drainasi yang sudah ada tidak segera diikuti dengan pembuatan pintu pengatur air, sehingga degradasi lahan mulai berjalan. Terjadinya drainase berlebihan, tidak hanya membawa toksik tetapi juga membawa hara dan mineral lainnya. Akhirnya menjadi bongkor ditinggalkan petani, karena sawahnya memberikan hasil sangat rendah atau sama sekali tidak menghasilkan. Selain lahan tidak produktif, atau sistem tata air tidak mendukung, ada beberapa petani yang meninggalkan lahannya, karena hasil produksi pertaniannya tidak mendatangkan keuntungan yang cukup (Anonim, 2005).

Anonimus (2005) menyebutkan pada periode 1985-1995 hampir tidak ada proyek pembukaan lahan rawa baru yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, pada periode tersebut fokusnya lebih ditujukan kepada penyempurnaan (fase/tahap II) prasarana pengairan, prasarana ekonomi dan sosial lainnya pada kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesai melksanakan pembukaan lahan rawa besar-besaran di Kalimantan Tengah yang kemudian dikenal dengan sebutan PLG (Pembukaan Lahan Gambut) 1 juta ha, yang kebanyakan kawasannya berada di daerah bantaran sungai. Akan tetapi dengan kekonyolan yang ada, para perencana proyek ini tidak didukung oleh data yang akurat dan pengetahuan yang sepadan dalam pengembangan daerah rawa hingga pengelolaan tanah da air. Sementara proses reklamasi awa yang berupa proses pengatusan genangan air beserta akibatnya (oksidasi pirit, subsidence, irreversibility tanah gambut) merupakan proses membahayakan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, kiranya kurang dipertimbangkan pada proses perencanaan, sehingga mengakibatkan beberapa kegagalan pertanian yang menyengsarakan petani.

2.4. Penglokasian Lahan Pasang Surut pada Sektor Pertanian

Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa pasang surut muara sungai besar, yang dipengaruhi oleh aktivitas laut. Di bagian pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan payau. Dengan adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yangmerupakan bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut terletak relatif sedikit jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai disamping pasang surut harian air laut (Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

Di wilayah pasng surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils) (Subajo, 2006 dalam Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

Pada lahan rawa pasang surut biasa ditemukan tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut bervariasi dari dangkal sampai dalam. Tanah gambut yang cocok untuk usaha pertanian adalah gambut dangkal (50-100 cm), sedangkan gambut sedang (101-200 cm), gambut dalam (201-300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm) lebih sesuai untuk kehutanan dan wilayah konservasi. Tanaman pertanian yang dapat tumbuh di tanah gambut adalah tanaman sayuran, buah-buahan, dan perkebunan seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit. Pada tanah mineral biasa, ditemukan tanah mineral yang belum matang dan matang. Tanah mineral matang umumnya sudah mengalami pengolahan lahan atau dibuat saluran-saluran. Pada tanah mineral ini dijumpai beberapa jenis tipologi lahan, yaitu tanah sulfat masam potensial, tanah sulfat masam aktual, dan tanah potensial yaitu tanah yang lapisan piritnya dalam (> 50-> 100 cm). Tanah demikian sangat berpotensi untuk padi sawah, tanaman palawija, sayuran, dan tanaman tahunan {Suriadikarta dan Sutriadi , 2007}.

Gambar 2. Serangkaian Aktifitas Reklamasi Lahan Rawa untuk Alokasi Sektor Pertanian dan Perkebunan di Indonesia (Deptan, 2008)

Pengembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan peningkatan produksi pertanian yang makin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat melalui penerapan iptek yang benar, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis dan wilayah (Abdurachman dan Ananto 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

Disamping memiliki prospek yang baik, pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian juga mempunyau berbagai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam, pengembangan pertanian lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula (Widjaja-Adhi et., al., 1992 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

Dengan adanya sejuta masalah dan harapan, maka pengelolaan lahan pasang surut ini memerlukan adanya teknologi pengelolaan lahan dan tata air hasil dari berbagai penelitian yang masih perlu dikembangkan secara luas. Selain dari teknologi yang aplikatif, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan pasang surut juga ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia dan rekayasa kelembagaan yang efektif dan efisien, terutama kelompok tani dan P3A, lembaga penyuluhan, sera lembaga penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Selanjutna koordinasi, keterpasuan dan keterkaitan serta kesungguhan kerja semua pihak terkait sangat diperluan dalam penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tata air ( Ananto et., al., 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007). Dari rujukan serta pengembangan pernyataan tersebut dapat dijelaskan adanya penerapan teknologi yang kurang tepat tanpa memperhatikan karakteristik lahannya dan tanpa adanya dukugan faktor-faktor di atas akan memperluas timbulnya lahan tidur bermasalah serta dikhawatirkan akan memasuki jenis lahan marjinal bahkan lahan kritis.

Sampai saat ini, sekitar 3,9 juta Ha dari lahan rawa dengan lokasi yang sebagian terbesarnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah direklamasi, utamanya untuk pengembangan lahan pertanian. Lebih dari 60 persen diantaranya (2,4 juta Ha) dikembangkan secara swadaya sebagai lahan pertanian oleh para petani pendatang dan penduduk lokal. Sementara seluas kurang lebih 0,2 juta ha lainnya dikembangkan oleh swasta untuk perkebunan kelapa. Selebihnya sekitar 1,3 juta ha adalah lahan rawa yang semenjak tahun 70-an telah dikembangkan oleh pemeritah sebagai lahan pertanian dan pemukiman dalam rangka menunjang program transmigrasi (Anonim, 2005).

2.5. Eksplorasi hingga Ekspoitasi Lahan Rawa-Gambut di Indonesia

Perubahan ekosistem rawa dapat terjadi oleh karena adanya modifikasi komponen lingkungan ekosistem rawa tersebut. Modifikasi ini dapat terjadi oleh karena a) penebangan kayu, b) konversi penggunaan lahan dan c) kebakaran hutan. Semua kegiatan ini akan memodifikasi komponen ekosistem rawa yang akhirnya merubah beberapa karakteristik ekosistem rawa tersebut (Mulyanto, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Penebangan k ayu

Penebangan kayu untuk diambil lognya biasanya dikenal dengan kegiatan logging (logging activities). Hal ini dapat terjadi oleh karena di dalam hutan alam rawa termasuk rawa bergambut menyimpan banyak kayu berharga seperti Ramin (Gonnysitylus bancanus), Jelutung (Dyera lowil), Nyatoh (Palaquium spp), Bintangur (Calophyllum spp). dan lain-lain (Daryono, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Pada waktu sebelum 1997 (sebelum reformasi), proses penebangan kayu ini dilakukan oleh perusahaan yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), namun setelah reformasi penebangan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai gambaran menurut Putir dan Limin (1999) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) 1991 -1998 kayu berharga yang terekstrak dari hutan rawa gambut Kalimantan Tengah adalah 35, 46 m3/ha. Jika luas hutan rawa yang ditebang mencapai 1,5 juta hektar maka kayu yang terektrak mencapai sekitar 50 juta m3. Oleh karena itu, kegiatan penebangan merupakan proses deforestasi yang nyata (significant). Proses deforestasi ini menyebabkan perubahan iklim mikro permukaan lahan rawa dan merubah secara nyata karakteristik penutup lahan (land cover), yang selanjutnya jika perubahan penutup lahan ini terjadi secara masif dan sangat luas akan berpengaruh pada baik iklim regional maupun global (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Selain itu, pengembangan lahan gambut untuk pemukiman transmigrasi dengan membuat saluran-saluran yang lebar akan mempermudah akses bagi penebang maupun transportasi kayu hasil penebangan. Dari saluran yang telah dikonstruksi untuk pemukiman transmigrasi ini penebang meransek lebih dalam lagi, dengan membuat saluran-saluran baru. Pembuatan saluran-saluran ini secara langsung akan merubah karak teristik ekosistem lahan gambut dan termasuk merubah karakteristik tanah (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Konversi Penggunaan Lahan

Konversi penggunaan lahan rawa di Indonesia untuk berbagai keperluan manusia terjadi sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Makasar merupakan hasil konversi lahan rawa. Konversi lahan rawa secara tradisional dilakukan oleh beberapa suku bangsa Indonesia, seperti suku Banjar, Bugis, Melayu, untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berpindah sejak lebih dari satu abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh adanya handil-handil, baik di Kalimantan maupun pantai timur Sumatra. Pada jaman kolonial Belanda, pembukaan lahan rawa untuk pengembangan perkebunan, terjadi mislanya di pantai timur Sumatra Utara. Pada jaman tersebut, di Kalimantan dibangun anjir-anjir guna pengembangan lahan rawa, seperti Anjir Srapat, Anjir Tamban, dan Anjir Talaran di Pulau Petak. Pada masa Orde Baru terjadi pembukaan rawa di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi dalam skala besar, dalam rangka pengembangan tanaman pangan yang sebagian diintegrasikan dengan program transmigrasi. Kegiatan terakhir, pembukaan lahan rawa besar-besaran dilakukan di Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar. Menurut Widjaya-Adhi et al. (2000) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,39 juta hektar, dimana sekitar 4,19 juta hektar diantaranya telah direklamasi. Sebelum pembukaan PLG 1 juta hektar, pemerintah telah membuka sekitar 1,3 juta hektar Konversi lahan rawa bergambut dilakukan juga oleh kalangan swasta untuk pengembangan perkebunan (kelapa, kelapa sawit) dan hutan tanaman industri (H TI), seperti yang terjadi di propinsi Riau (Tabel 2) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Tabel 2. Penyebaran geografis pembukaan lahan rawa yang disponsori pemerintah sebelum PLG 1 juta

hektar sejak tahun 70 an (Widjaya-Adhi et aI., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

Kebakaran Hutan

Peristiwa kebakaran hutan, termasuk di dalamnya kebakaran hutan rawa bergambut sebelum tahun 70-an tidak pernah tersiar beritanya. Hal ini disebabkan oleh karena memang tidak pernah terjadi kebakaran dalam skala besar, meskipun budaya tebas-bakar (slash and burn) dalam masyarakat sekitar hutan telah berlangsung lama. Kegiatan tebas bakar yang berlangsung di masyarakat rawa dalam mempersiapkan penanaman padi dikenal sebagai sistem sonor. Di dalam sistem ini areal lahan yang akan diolah dengan sistem tebas bakar telah dibatasi dengan membuat parit-parit kecil yang dibuat secara tradisional, dengan sistem ini kebakaran dapat dikendalikan. Setelah banyak kegiatan logging, frekuensi kebakaran yang berskala besar makin menlngkat, terutama dalam 10 tahun terakhir ini. Kebakaran hutan, termasuk kebakaran gambut , terjadi oleh karena gambut merupakan tanah yang hampir 100 persen terdiri dari bahan organik yang apabila kering mudah sekali terbakar. Kebakaran hutan menimbulkan asap dengan intensitas tinggi dan meluas sampai ke negara tetangga, sehingga mengganggu lalulintas kendaraan, baik di darat, perairan maupun udara. Disamping mengganggu lalu lintas, asap ini juga mengganggu kesehatan. Oleh karena tinggkat gangguannya begitu tinggi sempat menimbulkan pr otes keras dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Menurut Davis (1959) dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007 menjelaskan behwa kebakaran merupakan proses reaksi berantai antara 3 unsur, yaitu: bahan bakar, oksigen serta suhu dan kelembaban. Kebakaran tidak akan terjadi jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada. Dalam kasus kebakaran hutan bahan bakarnya adalah kayu dan dalam hal hutan gambut, termasuk tanah gambutnya. Oksigen terdapat bebas di udara oleh karena udara mengandung gas oksigen sekitar 13-16 persen. Sementara itu kelembaban dan suhu berkaitan erat dengan kegiatan pembukaan hutan termasuk didalamnya kegiatan logging dan konversi penggunaan lahan. Pembukaan hutan menyebabkan perubahan iklim mikro di permukaan tanah. Pada saat sebelum pembukaan hutan suhu permukaan tanah relatif rendah antara 18 sampai 250C dan lantai hut an lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran. Setelah terjadi pembukaan hutan, suhu permukaan tanah dapat mencapai 30-350C dan serasah serta ranting- ranting mengering oleh karena tajuk hutan (canopy) terbuka. Kondisi semacam ini merupakan kondisi yang rentan kebakaran. Pembukaan lahan rawa bergambut pada umumnya dimulai dengan pembuatan parit untuk menurunkan permukaan air dan sekaligus merupakan akses. Jika rawa tersebut bergambut maka tanah gambut mengering dan rentan terhadap kebakaran.

Dengan adanya kegiatan di dalam hutan, baik kegiatan penebangan ataupun kegiatan lainnya, banyak orang pendatang lalu-lalang di dalam hutan, termasuk di dalam hutan rawa gambut. Sumber api menjadi sangat banyak terutama api untuk memasak, yang kemudian menjadi tak terkendali, putung rokok yang masih hidup dibuang sembarangan, pembakaran semak-semak yang disengaja dengan maksud pembersihan lahan, terutama di lubuk-lubuk untuk menangkap ikan. Api ini dengan sangat mudah tersulut jika sumbernya bersentuhan dengan gambut kering atau serasah dan ranting kering. Hal ini menjadi sangat sensitif pada musim kering dengan kecepatan angin yang semakin kencang. Api yang besar ini dapat masuk kedalam hutan dan membakar hutan yang masih belum terganggu.

Kebakaran gambut di hutan rawa akan menyebabkan lapisan gambut yang kering terbakar sehingga perjadi penurunan permukaan. Menurut pengamatan Bustomi dan Sianturi (2000) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) dalam sekali musim kebakaran (penurunan permukaan ed. ) rata-rata mencapai 50 cm. Bagian bawah yang masih lembab tidak terbakar. Dampak kebakaran pda lahan gambut angkal antara lain tersingkapnya lapisan sedimen yang menjadi dasar dari gambut. Jika sedimen yang tersingkap merupakan sedimen yang terbentuk di lingkugan air payau yang mengandung pirit maka dimungkinkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasikan asam , sehingga pH lingkungan rawa dapat menurun sampai di bawah 3, akibatnya ekosistem rawa menjadi rusak (chatastrophy). Dampak kebakaran terhadap tegakan adalah tegakan tajuk menjadi terbuka dan tumbuhan mati total. Tegakan hutan di rawa gambut biasanya terbakar hampir total sampai ke akar-akarnya. Hal ini dapat terjadi oleh karena lapisan tanah gambut bagian atas, yang merupakan konsentrasi perakaran ikut terbakar. Kondisi kerusakan permukaan lahan ini akan sangat mempengaruhi ekspresi citra landsat TM (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Dampak Perubahan Ekosistem

Setelah pemaparan mengenai eksplorasi hingga eksploitasi mengenai lahan rawa-gambut ini secara detail diungkap dengan beberapa packaging, maka perubahan penggunaan lahan mengakibatkan berbagai fenomena yang seringkali diluar apa yang dirancang. Sebagian kegiatan perubahan penggunaan lahan tidak didasarkan pada pemahaman ekosistem lahan rawa secara menyeluruh (holistik), seperti pemahaman kondisi hidrologis yang termasuk bentuk dome, karakteristik dasar rawa, bahan mineral di bawah gambut dan struktur ekosistem lahan rawa tersebut, yang sebenarnya telah memberikan banyak hasil bagi kehidupan. Di beberapa tempat hutan rawa telah berkembang (developed) menjadi kota dan lahan pertanian atau perkebunan yang memberikan hasil yang teratur, namun sebagian besar berubah menjadi lahan vang tidak berkembang atau rusak (ma/-developed). Kerusakarl ini terjadi oleh karena berbagai dampak pembukaan hutan rawa tropika ini tidak diantisipasi dengan baik. Beberapa dampak penting yang timbul dalam pembukaan rawa adalah :

  1. Adanya penurunan permukaan lahan (subsidence) dan air tidak dapat terdrainase dengan baik sehingga mengakibatkan adanya genangan-genangan permanen
  2. Di tempat-tempat yang berpotensi sulfat masam, jika permukaan air turun maka kondisi tanah menjadi lebih oksidatif, akibatnya akan timbul sulfat masam, yang menyebabkan tanaman budidaya tidak dapat tumbuh dan banyak ikan dan biota air mati
  3. Jika tanahnya bergambut, penurunan permukaan lahan menyebabkan tanah gambut mengering sehingga rentan terhadap kebakaran
  4. Pembuatan saluran dan jalan menyebabkan akses lebih mudah sehingga ektrasi sumberdaya alam, misalnya kayu, menjadi lebih mudah serta proses pembabatan hutan dipercepat. Disamping itu, intensitas lalu-lalang manusia meningkat sehingga resiko kerusakan oleh karena kebakaran meningkat
  5. Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya ditinggalkan oleh penduduk, karena sudah tidak prosuktif lagi. Lahan yang demikian biasanya ditumbuhi oleh purun dan kemudian bersuksesi menj adi semak belukar dan kemudian menjadi hutan gelam. Kondisi dari masingmasing strata suksesi ini akan menimbulkan penampakan citra landsat TM yang berbeda.

Pengelolaan Lahan Rawa-Gambut yang Ekologis dan Holistik

Pengelolaan lahan gambut perlu didasarkan pada karakteristik ekosistem tropika. Pada dasarnya gambut di Indonesia mempunyai bentuk kubah. Bentuk ini menjamin adanya sirkulasi air dari puncak dome menuju ke bagian kaki-kaki kubah. Sirkulasi air inilah yang menyebabkan ekosistem gambut dapat produktif. Sifat gambut yang porous menyebabkan gambut dapat menyimpan air dalam jumlah yang cukup besar (sampai 500 persen dari bobot keringnya). Dengan senantiasa menjaga puncak kubah maka peredaran air dalam ekosistem lahan gambut dapat terjaga dan eksistensi ekosistem gambut dapat dipertahankan. Adanya cadangan air di puncak dome sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air agar tetap dapat memungkinkan biota tetap hidup dan berproduksi. Air gambut biasanya mempunyai pH sekitar 4 -4,5 dan masih memungkinkan biota untuk mempertahankan hidupnya. Selain itu, air yang mengalir, meskipun sangat perlahan, memungkinkan kualitas air tetap terjaga (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Secara tradisional, kelangsungan handil-handil yang ada di Sumatra dan Kalimantan lebih disebabkan oleh karena masih adanya air yang senantiasa mengalir dari puncak dome ke handil-handil tersebut. Air yang mengalir ini bukan saja memberi pengairan, tetapi juga berfungsi sebagai pencuci senyawa-senyawa beracun yang mungkin timbul oleh karena lahan gambut di drainase untuk pertanian. Senyawa beracun yang mungkin timbul adalah senyawa sulfat masam (acid sulphate) sebagai hasil proses oksidasi bahan sulfidik seperti mineral pirit (FeS2). Senyawa beracun ini timbul pada lahan gambut dangkal yang dasar gambutnya merupakan sedimen yang proses pembentukannya terjadi di lingkungan air payau (brackish water). Sebagai akibat dari adanya senyawa sulfat masam ini adalah tumbuhan, terutama tumbuhan budidaya, tidak dapat berproduksi atau bahkan mati. Saat ini ratusan ribu hektar lahan yang ditinggalkan oleh masyarakat (abandoned) baik di Sumatra maupun di Kalimantan disebabkan oleh senyawa sulfat masam tidak dapat didrainase keluar (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Sehubungan dengan itu, maka pengelolaan lahan gambut harus senantiasa memandang bahwa suatu pulau ( antara 2 sungai) adalah satu unit ekosistem, sehingga dalam pengelolaannya harus merupakan satu unit pengelolaan. Bentuk kubah gambut dipakai sebagai dasar untuk mengatur tata ruang penggunaan lahan gambut tersebut. Kaki kubah termasuk tanggul-tanggul alam sungai (levee) yang telah dikelola oleh masyarakat , misalnya untuk kebun rotan, sagu, padi dan tanaman lainnya tetap dialokasikan untuk pertanian rakyat. Puncak kubah harus senantiasa di jaga keutuhannya, sehingga dialokasikan bagi wilayah konservasi, agar fungsinya sebagai pemasok air senantiasa tefap terjaga (Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Wilayah antara puncak dan kaki kubah, jika terpaksa harus dimanfaatkan, dapat dialokasikan bagi tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri yang menggunakan tanaman tahunan, dengan bangunan parit-parit minimal dan pengaturan air yang sangat disiplin agar air tetap mengalir dan permukaan air senantiasa terjaga, sehingga drainase berlebih (over drainaged) dapat dihindari. Parit biasanya merupakan akses, sehingga harus dijaga agar mereka yang bukan pengelola tidak mudah masuk kewilayah ini, sehingga dapat dihindari penebangan kayu di bagian puncak kubah. Oleh karena gambut mudah terbakar, maka bahaya kebakaran harus dicegah sedini mungkin dengan melarang kemungkinan timbulnya api.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang hendak dikemukakan dalam penulisan makalah ini tidak lepas dengan adanya permasalah yang mndasar sehingga kesimpulan yang mana merupakan benang merah hingga rekomendasi praktis dapat diambil sebagai suatu wacana hingga unit keutuhan yang bisa diambil sebagai kajian lahan rawa dan pasang surut secara lebih bijak, antara lain:

- Pemanfaatan serta pengelolaan yang serasi sesuai dengan karakteristik, sifat serta kelakuannya dan pembangunan prasaranan, sarana pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan dapat mengubah lahan tidur (bongkor) menjadi lahan produktif

- Perencanaan hingga dukungan pengetahuan yang kurang maksimal dalam reklamasi lahan rawa hingga gambut akan mengakibatkan kemerosotan produktifitas pertanian dan meningkatkan tingkat kemiskinan diiringi dengan ledakan populasi yang ada

3.2. Rekomendasi

Dalam penulisan makalah mengenai reklamasi lahan rawa dan pasang surut ini, kami menghimpun beberapa rekomendasi praktis untuk megerem eksploitasi lahan tersebut, antara lain:

- Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan menjadikan lahan tersebut menjadi produktif lagi untuk lahan pertanian adalah dengan penrapan teknik rehabilitasi yang berkiblat pada konservasi sumberdaya tanah dan air secara optimal

- Disamping perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan lahan/tanah dan air sebaik-baiknya

- Pengembangan lahan rawa memerlukan penerapan teknologi yang sesuai dari segi pengelolaan tanah dan air yang tepat (high presition)

- Pengelolaan lahan rawa-gambut haruslah memperhatikan karakteristik biofisik yang ada, sehingga ekologi terjaga

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Rawa___diakses di: www.google.com tanggal 19 Oktober 2008. Hal. 1-3

DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. 2008. Pedoman Teknis Reklamasi Lahan Rawa Tahun 2008. Direktorat Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta. PT. PLA B.2.4-2008

Mulyanto, Budi; Basuki Sumawinata. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Secara Ekologis Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Center for Wetlands Studies. Departement of Soil Science-Faculty of Agriculture Bogor Agricultural University. Bogor. Email : cwsipb@indo.net.id. Hal. 1-8

Salim, E. Hidayat; Siti Mariam. 2007. Pengelolaan Tanah da Air (Bahan Kuliah). Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Hal. 132

Suriadikarta, Didi Ardi; Mas Teddy Sutriadi. 2007. Jenis-jenis Lahan Berpotensi Untuk Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor. 26 (3). Hal. 115-122.