Rabu, 28 Januari 2009

Reklamasi Lahan Rawa dan Pasang Surut Sebagai Suatu Aset Sumberdaya Alam Indonesia

BAB II

LAHAN RAWA DAN PASANG SURUT SEBAGAI SUMBERDAYA YANG TERSEMBUNYI

2.1. Gambaran Karakteristik Tanah Rawa /Gambut dan Lahan Pasang Surut di Indonesia

Pengusahaan pertanian dengan kehutanan merupakan keharusan, apabila dihubungkan dengan alokasi tempat yang sesuai sebagai penyangga serta penyeimbang lingkungan hidup. Keberlangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain yang ada di muka bumi ini tidak terlepas dari keseimbangan ekosistem yang ada, yang mana sumberdaya pertanian untuk pemenuhan “kebutuhan perut”, sedangkan sumberdaya kehutanan untuk penyangga serta mulai dari penyuplai oksigen hingga ketersediaan papan. Akan tetapi seiring dengan pertumbuhan serta ledakan populasi penduduk yang melebihi ketersediaan sumberdaya pemenuhan kebutuhan sudah tidak seimbang, sungguh sangat ironis.

Daerah rawa merupakan karakteristik yang unik pembentuk serta perangsang peningkatan potensi pemenuhan kebutuhan tersebut yang belum dikembangkan secara maksimal, namun kembali kepada kaidah konservasi hingga rehabilitasi guna mengerem laju eksplorasi hingga eksploitasi yang ada.

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu tergenang karena jeleknya atau tidak adanya system drainase alami. Sementara itu tempat terjadinya daerah awa tidak dibatasi oleh ketinggian (elevasi) lahan. Di tempat yang tinggipun dapat ditemukan daerah rawa di depresi geologis. Genangan air di daerah depresi ini terjadi karena terkumpulnya limpasan air hujan pada cekungan tersebut, sirkulasi air data terjadi karena adanya evaporasi dan tambahan lewat air tanah.

Daerah rawa mempunyai arti penting secara hidrologis bagi lingkungan fisik system hidrologi sungai. Daerah rawa di suatu daerah genangan banjir sungai, dapat berfungsi sebagai filter yang dapat menjernihkan air sebelum masuk ke sungai. Air limpasan dari daerah lebih tinggi mangalir masuk ke daerah rawa, karena adanya tumbuh-tumbuhan di daerah rawa tersebut, kecepatan aliran menjadi kecil yang mengakibatkan terendapkan sediment suspensi, oleh karena itu pada waktu meninggalkan daerah rawa, air tersebut sudah menjadi lebih jernih. Daerah rawa juga dapat berfungsi sebagai reservoir air yang dapat menjaga keberadaan air tanah di daerah di atasnya.

Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan cirri biologi: terdapat ikan-ikan awa, tumbuhan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.

2.2. Perspektif Lingkungan Rawa dan Lahan Gambut

Menurut penuturan Mulyanto dan Sumawinata (2007), lahan gambut merupakan deposit karbon, seperti halnya minyak bumi dan batubara. Jika dipelajari proses evolusi pembentukannya, deposit batubara senantiasa dimulai dari proses pembentukan gambut (peat) terlebih dahulu, kemudian deposit gambut mengalami deposisi bahan baru diatas gambut dan gambut selanjutnya mengalami kompresi membentuk batubara muda (lignite) dan kompresi lanjut dari batuhara muda ini akan membentuk batubara (ant rachite). Oleh karena itu isu-isu tentang karbon, baik yang berkaitan dengan deposit karbon (carbon stock), pelepasan karbon (carbcn re/ease), rosot karbon (carbon sink) dan bahkan sampai ke isu tentang perdagangan karbon (carbon trade ) terkait juga dengan pengelolaan lahan gambut.

Hubungan antara isu-isu tentang karbon dengan pengelolaan gambut di Indonesia menjadi semakin penting, karena sekitar setengah dari lahan gambut di daerah tropika berada di Indonesia. Menurut Bellamy (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) di Dunia terdapat kurang lebih 400 juta hektar lahan gambut, 90 persen di antaranya berada di daerah temperate dan 10 persen sisanya berada di daerah tropika. Sementara itu, menurut Rajaguguk (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20 juta hektar. Lahangambut ini berada dalam lahan rawa Indonesia yang lebih kurang 33 juta hektar (Widjaja-Adhi, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)). Lahan gambut ini tersebar di Sumatra (41,4%), Kalimantan (22,8%), Papua (23%), Sulawesi (1,6%) dan Halmahera-Seram (0,5%) (Mulyanto dan Sumawinata (2007).

Prof H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) mengemukakan luas total daerah rawa dan pasang surut diperkirakan 39.424.500 hektar (17% dari luas dataran Indonesia) dan tersebar di empat pulau besar, terdiri dari : (1) Rawa Pedalaman (Lebak) kira-kira 32.424.500 hektar, dan (2) Rawa Pantai (Pasang Surut) kira-kira 7.000.000 hektar. Seluas 27 juta hektar (11,5 % daratan Indonesia0 merupakan tanah gambut (Organosol, Histosol).

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp). Oleh karena dalam lingkungan rawa, maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah alluvial (Entosols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organic, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organic (Histosols) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Daerah rawa bergambut ini pada umumnya datar dan terletak diantara dua sungai besar. Meskipun disebut datar lahan rawa bergambut ini pada umumnya berbentuk kubah (dome), sehingga terdapat beda ketinggian (elevation) antara pinggir sungai dan posisi tengah diantara dua sungai tersebut sebagai puncak dome, sehingga memungkinkan terjadi pergerakan air dari puncak dome ke arah pinggir sungai. Pergerakan air inilah yang memungkinkan ekosistem rawa bergambut dapat menunjang kehidupan. Secara umum di antara sungai-sungai di daerah ini dapat dipandang sebagai suatu unit 'pulau' yang mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik geografi yang semacam itu berhubungan erat dengan karaktersitik tanah dan juga karakteritik vegetasi hutan yang tumbuh di atasnya. Hubungan antara elevasi, kedalaman gambut dan karakteristik hutannya dapat dilihat dari transek yang dibuat oleh Mulyanto dan Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007). antara S. Kahayan dan S. Sebangau. (Gambar 1).

Gambar ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan elevasi, semakin jauh dari pinggir sungai maka semakin tebal lapisan gambutnya. Hal ini menunjukkan adanya bentuk dome tersebut dengan puncaknya di sekitar tengah 'pulau. Ketebalan gambut di puncak dome dapat lebih dari 10 meter. Keadaan bentuk lahan yang demikian, dan juga keadaan topografi dan jenis bahan yang menjadi dasar pembentukan gambut akan sangat mempengaruhi beberapa karakteritik tanah dan selanjutnya mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Gambar 1. Profil melintang bahan gambut antara Sungai Kahayan dan Sebangau, Kalimantan Tengah [Mulyanto dan Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)]

Tanah mineral merupakan bagian lapisan dasar yang muncul setempat ke permukaan. Dasar lahan rawa bergambut adalah bahan sedimen mineral dengan berbagai karakteristik (Tabel 1). Karakteristik sediment ini sangat tergantung pada proses pembentukannya dan karakteristik ekosistem pada saat sediment tersebut terbentuk. Sedimen yang terbentuk dalam ekosistem air payau (brackish water) ditandai oleh banyaknya serpihan kayu dan adanya mineral pirit (FeS 2) sebagai mineral yang perlu diwaspadai pada saat akan mengelola lahan rawa bergambut, karena merupakan potensi sulfat masam. Sementara itu, apabila sedimen ini terbentuk di lingkungan air tawar (fresh water) sedimen tersebut relatif bersih, tidak banyak mengandung serpihan kayu dan tidak mengandung mineral pirit (FeS2), sehingga dikhawatirkan adanya bahaya sulfat masam (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Tabel 1. Contoh-contoh perbedaan karakteristik sedimen bawah gambut oleh karena perbedaan

lingkungan pembentukannya (Sumawinata, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

2.2.1. Pengaruh Spesifik Lahan Pasang Surut Terhadap Keseimbangan Ekologi

Menurut Mulyanto dan Sumawinata, 2007 disamping karakteristik sedimen yang menjadi dasar rawa, pengaruh pasang surut juga sangat berpengaruh terhadap ekosistem lahan rawa saat ini. Tanah gambut di di lapangan dapat mengandung air sekitar 500 persen dari bobot keringnya. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya kualitas tanah rawa gambut sangat ditentukan oleh kualitas airnya. Karakteristik lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut akan sangat berbeda dengan karakteristik lingkungan rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Karakteristik rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut pada umumnya airnya merupakan percampuran air tawar dan air laut , sehingga dalam batas tertentu, jika kadar garamnya tidak berlebihan, akan mempunyai daya dukung terhadap kehidupan yang lebih baik daripada yang hanya mengandung air tawar, karena kandungan unsur haranya lebih baik. Oleh karena itu, pengaruh pasang surut air laut sangat penting dipergunakan dalam penyusunan basis aturan.

Secara alami, ekosistem rawa, termasuk juga ekosistem lahan gambut, merupakan ekosistem yang memberi hasil yang cukup, terutama hasil-hasil perikanan air tawar ataupun air payau. Pada saat masih tertutupi dengan vegetasi hutan, lahan rawa ini memberi banyak hasil bagi masyarakat, baik yang berupa hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, obat- obatan dsb. Disamping itu, lahan rawa ini juga merupakan komponen pengatur hidrologi ekosistem lahan rawa. Secara tradisional orang-orang Banjar, Bugis telah mengelola lahan rawa bergambut ini untuk relatif bersinambungan dalam unit ekosistem lahan gambut (Mulyanto et al., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Sementara itu, lahan rawa gambut yang dibuka untuk pertanian, seperti lahan lokasi Projek Lahan Gambut 1 juta hektar, tidak memberikan hasil dan bahkan hasil-hasil perikanan rawa malah menunjukkan penurunan oleh karena kerusakan ekosistemnya. (Mulyanto, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

2.3. Reklamasi Tanah Rawa Gambut dan Pasang Surut Sebuah Solusi Aktif dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Banyak pendapat tentang data kuantitatif yang dikembangkan tentang satuan luasan lahan pasang surut dan rawa, selain pernyataan Prof. H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) adapula penuturan Suriadikarta dan Sutriadi (2007) luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,10 juta ha, sekitar 20-30% di antaranya berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini baru sekitar 3-4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi. Pembukaan lahan rawa pasang surut memerlukan perencanaan yang matang dan hati-hati supaya tidak mengalami kegagalan, karena lahan rawa bersifat rapuh (fragile). Dalam menentukan jenis-jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah rawa pasang surut yang akan dikembangkan.

Pengembangan lahan pasang surut yang dilaksanakan pemerintah pada tahap awal (tahap I) berupa pembangunan sistem drainasi terbuka, tanpa bangunan pengendalian aliran air, dilengkapi dengan penyiapan lahan, rumah-rumah, jaringan jalan, jembatan sekolah dan sarana kesehaan. Pada mulanya lahan ini menunjukkan produksi padi di sawah yang cukup tinggi, namun dalam perkembangan selanjutnya sistem drainasi yang sudah ada tidak segera diikuti dengan pembuatan pintu pengatur air, sehingga degradasi lahan mulai berjalan. Terjadinya drainase berlebihan, tidak hanya membawa toksik tetapi juga membawa hara dan mineral lainnya. Akhirnya menjadi bongkor ditinggalkan petani, karena sawahnya memberikan hasil sangat rendah atau sama sekali tidak menghasilkan. Selain lahan tidak produktif, atau sistem tata air tidak mendukung, ada beberapa petani yang meninggalkan lahannya, karena hasil produksi pertaniannya tidak mendatangkan keuntungan yang cukup (Anonim, 2005).

Anonimus (2005) menyebutkan pada periode 1985-1995 hampir tidak ada proyek pembukaan lahan rawa baru yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, pada periode tersebut fokusnya lebih ditujukan kepada penyempurnaan (fase/tahap II) prasarana pengairan, prasarana ekonomi dan sosial lainnya pada kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesai melksanakan pembukaan lahan rawa besar-besaran di Kalimantan Tengah yang kemudian dikenal dengan sebutan PLG (Pembukaan Lahan Gambut) 1 juta ha, yang kebanyakan kawasannya berada di daerah bantaran sungai. Akan tetapi dengan kekonyolan yang ada, para perencana proyek ini tidak didukung oleh data yang akurat dan pengetahuan yang sepadan dalam pengembangan daerah rawa hingga pengelolaan tanah da air. Sementara proses reklamasi awa yang berupa proses pengatusan genangan air beserta akibatnya (oksidasi pirit, subsidence, irreversibility tanah gambut) merupakan proses membahayakan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, kiranya kurang dipertimbangkan pada proses perencanaan, sehingga mengakibatkan beberapa kegagalan pertanian yang menyengsarakan petani.

2.4. Penglokasian Lahan Pasang Surut pada Sektor Pertanian

Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa pasang surut muara sungai besar, yang dipengaruhi oleh aktivitas laut. Di bagian pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan payau. Dengan adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yangmerupakan bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut terletak relatif sedikit jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai disamping pasang surut harian air laut (Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

Di wilayah pasng surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils) (Subajo, 2006 dalam Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

Pada lahan rawa pasang surut biasa ditemukan tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut bervariasi dari dangkal sampai dalam. Tanah gambut yang cocok untuk usaha pertanian adalah gambut dangkal (50-100 cm), sedangkan gambut sedang (101-200 cm), gambut dalam (201-300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm) lebih sesuai untuk kehutanan dan wilayah konservasi. Tanaman pertanian yang dapat tumbuh di tanah gambut adalah tanaman sayuran, buah-buahan, dan perkebunan seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit. Pada tanah mineral biasa, ditemukan tanah mineral yang belum matang dan matang. Tanah mineral matang umumnya sudah mengalami pengolahan lahan atau dibuat saluran-saluran. Pada tanah mineral ini dijumpai beberapa jenis tipologi lahan, yaitu tanah sulfat masam potensial, tanah sulfat masam aktual, dan tanah potensial yaitu tanah yang lapisan piritnya dalam (> 50-> 100 cm). Tanah demikian sangat berpotensi untuk padi sawah, tanaman palawija, sayuran, dan tanaman tahunan {Suriadikarta dan Sutriadi , 2007}.

Gambar 2. Serangkaian Aktifitas Reklamasi Lahan Rawa untuk Alokasi Sektor Pertanian dan Perkebunan di Indonesia (Deptan, 2008)

Pengembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan peningkatan produksi pertanian yang makin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat melalui penerapan iptek yang benar, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis dan wilayah (Abdurachman dan Ananto 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

Disamping memiliki prospek yang baik, pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian juga mempunyau berbagai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam, pengembangan pertanian lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula (Widjaja-Adhi et., al., 1992 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

Dengan adanya sejuta masalah dan harapan, maka pengelolaan lahan pasang surut ini memerlukan adanya teknologi pengelolaan lahan dan tata air hasil dari berbagai penelitian yang masih perlu dikembangkan secara luas. Selain dari teknologi yang aplikatif, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan pasang surut juga ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia dan rekayasa kelembagaan yang efektif dan efisien, terutama kelompok tani dan P3A, lembaga penyuluhan, sera lembaga penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Selanjutna koordinasi, keterpasuan dan keterkaitan serta kesungguhan kerja semua pihak terkait sangat diperluan dalam penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tata air ( Ananto et., al., 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007). Dari rujukan serta pengembangan pernyataan tersebut dapat dijelaskan adanya penerapan teknologi yang kurang tepat tanpa memperhatikan karakteristik lahannya dan tanpa adanya dukugan faktor-faktor di atas akan memperluas timbulnya lahan tidur bermasalah serta dikhawatirkan akan memasuki jenis lahan marjinal bahkan lahan kritis.

Sampai saat ini, sekitar 3,9 juta Ha dari lahan rawa dengan lokasi yang sebagian terbesarnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah direklamasi, utamanya untuk pengembangan lahan pertanian. Lebih dari 60 persen diantaranya (2,4 juta Ha) dikembangkan secara swadaya sebagai lahan pertanian oleh para petani pendatang dan penduduk lokal. Sementara seluas kurang lebih 0,2 juta ha lainnya dikembangkan oleh swasta untuk perkebunan kelapa. Selebihnya sekitar 1,3 juta ha adalah lahan rawa yang semenjak tahun 70-an telah dikembangkan oleh pemeritah sebagai lahan pertanian dan pemukiman dalam rangka menunjang program transmigrasi (Anonim, 2005).

2.5. Eksplorasi hingga Ekspoitasi Lahan Rawa-Gambut di Indonesia

Perubahan ekosistem rawa dapat terjadi oleh karena adanya modifikasi komponen lingkungan ekosistem rawa tersebut. Modifikasi ini dapat terjadi oleh karena a) penebangan kayu, b) konversi penggunaan lahan dan c) kebakaran hutan. Semua kegiatan ini akan memodifikasi komponen ekosistem rawa yang akhirnya merubah beberapa karakteristik ekosistem rawa tersebut (Mulyanto, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Penebangan k ayu

Penebangan kayu untuk diambil lognya biasanya dikenal dengan kegiatan logging (logging activities). Hal ini dapat terjadi oleh karena di dalam hutan alam rawa termasuk rawa bergambut menyimpan banyak kayu berharga seperti Ramin (Gonnysitylus bancanus), Jelutung (Dyera lowil), Nyatoh (Palaquium spp), Bintangur (Calophyllum spp). dan lain-lain (Daryono, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Pada waktu sebelum 1997 (sebelum reformasi), proses penebangan kayu ini dilakukan oleh perusahaan yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), namun setelah reformasi penebangan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai gambaran menurut Putir dan Limin (1999) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) 1991 -1998 kayu berharga yang terekstrak dari hutan rawa gambut Kalimantan Tengah adalah 35, 46 m3/ha. Jika luas hutan rawa yang ditebang mencapai 1,5 juta hektar maka kayu yang terektrak mencapai sekitar 50 juta m3. Oleh karena itu, kegiatan penebangan merupakan proses deforestasi yang nyata (significant). Proses deforestasi ini menyebabkan perubahan iklim mikro permukaan lahan rawa dan merubah secara nyata karakteristik penutup lahan (land cover), yang selanjutnya jika perubahan penutup lahan ini terjadi secara masif dan sangat luas akan berpengaruh pada baik iklim regional maupun global (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Selain itu, pengembangan lahan gambut untuk pemukiman transmigrasi dengan membuat saluran-saluran yang lebar akan mempermudah akses bagi penebang maupun transportasi kayu hasil penebangan. Dari saluran yang telah dikonstruksi untuk pemukiman transmigrasi ini penebang meransek lebih dalam lagi, dengan membuat saluran-saluran baru. Pembuatan saluran-saluran ini secara langsung akan merubah karak teristik ekosistem lahan gambut dan termasuk merubah karakteristik tanah (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Konversi Penggunaan Lahan

Konversi penggunaan lahan rawa di Indonesia untuk berbagai keperluan manusia terjadi sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Makasar merupakan hasil konversi lahan rawa. Konversi lahan rawa secara tradisional dilakukan oleh beberapa suku bangsa Indonesia, seperti suku Banjar, Bugis, Melayu, untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berpindah sejak lebih dari satu abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh adanya handil-handil, baik di Kalimantan maupun pantai timur Sumatra. Pada jaman kolonial Belanda, pembukaan lahan rawa untuk pengembangan perkebunan, terjadi mislanya di pantai timur Sumatra Utara. Pada jaman tersebut, di Kalimantan dibangun anjir-anjir guna pengembangan lahan rawa, seperti Anjir Srapat, Anjir Tamban, dan Anjir Talaran di Pulau Petak. Pada masa Orde Baru terjadi pembukaan rawa di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi dalam skala besar, dalam rangka pengembangan tanaman pangan yang sebagian diintegrasikan dengan program transmigrasi. Kegiatan terakhir, pembukaan lahan rawa besar-besaran dilakukan di Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar. Menurut Widjaya-Adhi et al. (2000) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,39 juta hektar, dimana sekitar 4,19 juta hektar diantaranya telah direklamasi. Sebelum pembukaan PLG 1 juta hektar, pemerintah telah membuka sekitar 1,3 juta hektar Konversi lahan rawa bergambut dilakukan juga oleh kalangan swasta untuk pengembangan perkebunan (kelapa, kelapa sawit) dan hutan tanaman industri (H TI), seperti yang terjadi di propinsi Riau (Tabel 2) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Tabel 2. Penyebaran geografis pembukaan lahan rawa yang disponsori pemerintah sebelum PLG 1 juta

hektar sejak tahun 70 an (Widjaya-Adhi et aI., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

Kebakaran Hutan

Peristiwa kebakaran hutan, termasuk di dalamnya kebakaran hutan rawa bergambut sebelum tahun 70-an tidak pernah tersiar beritanya. Hal ini disebabkan oleh karena memang tidak pernah terjadi kebakaran dalam skala besar, meskipun budaya tebas-bakar (slash and burn) dalam masyarakat sekitar hutan telah berlangsung lama. Kegiatan tebas bakar yang berlangsung di masyarakat rawa dalam mempersiapkan penanaman padi dikenal sebagai sistem sonor. Di dalam sistem ini areal lahan yang akan diolah dengan sistem tebas bakar telah dibatasi dengan membuat parit-parit kecil yang dibuat secara tradisional, dengan sistem ini kebakaran dapat dikendalikan. Setelah banyak kegiatan logging, frekuensi kebakaran yang berskala besar makin menlngkat, terutama dalam 10 tahun terakhir ini. Kebakaran hutan, termasuk kebakaran gambut , terjadi oleh karena gambut merupakan tanah yang hampir 100 persen terdiri dari bahan organik yang apabila kering mudah sekali terbakar. Kebakaran hutan menimbulkan asap dengan intensitas tinggi dan meluas sampai ke negara tetangga, sehingga mengganggu lalulintas kendaraan, baik di darat, perairan maupun udara. Disamping mengganggu lalu lintas, asap ini juga mengganggu kesehatan. Oleh karena tinggkat gangguannya begitu tinggi sempat menimbulkan pr otes keras dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Menurut Davis (1959) dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007 menjelaskan behwa kebakaran merupakan proses reaksi berantai antara 3 unsur, yaitu: bahan bakar, oksigen serta suhu dan kelembaban. Kebakaran tidak akan terjadi jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada. Dalam kasus kebakaran hutan bahan bakarnya adalah kayu dan dalam hal hutan gambut, termasuk tanah gambutnya. Oksigen terdapat bebas di udara oleh karena udara mengandung gas oksigen sekitar 13-16 persen. Sementara itu kelembaban dan suhu berkaitan erat dengan kegiatan pembukaan hutan termasuk didalamnya kegiatan logging dan konversi penggunaan lahan. Pembukaan hutan menyebabkan perubahan iklim mikro di permukaan tanah. Pada saat sebelum pembukaan hutan suhu permukaan tanah relatif rendah antara 18 sampai 250C dan lantai hut an lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran. Setelah terjadi pembukaan hutan, suhu permukaan tanah dapat mencapai 30-350C dan serasah serta ranting- ranting mengering oleh karena tajuk hutan (canopy) terbuka. Kondisi semacam ini merupakan kondisi yang rentan kebakaran. Pembukaan lahan rawa bergambut pada umumnya dimulai dengan pembuatan parit untuk menurunkan permukaan air dan sekaligus merupakan akses. Jika rawa tersebut bergambut maka tanah gambut mengering dan rentan terhadap kebakaran.

Dengan adanya kegiatan di dalam hutan, baik kegiatan penebangan ataupun kegiatan lainnya, banyak orang pendatang lalu-lalang di dalam hutan, termasuk di dalam hutan rawa gambut. Sumber api menjadi sangat banyak terutama api untuk memasak, yang kemudian menjadi tak terkendali, putung rokok yang masih hidup dibuang sembarangan, pembakaran semak-semak yang disengaja dengan maksud pembersihan lahan, terutama di lubuk-lubuk untuk menangkap ikan. Api ini dengan sangat mudah tersulut jika sumbernya bersentuhan dengan gambut kering atau serasah dan ranting kering. Hal ini menjadi sangat sensitif pada musim kering dengan kecepatan angin yang semakin kencang. Api yang besar ini dapat masuk kedalam hutan dan membakar hutan yang masih belum terganggu.

Kebakaran gambut di hutan rawa akan menyebabkan lapisan gambut yang kering terbakar sehingga perjadi penurunan permukaan. Menurut pengamatan Bustomi dan Sianturi (2000) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) dalam sekali musim kebakaran (penurunan permukaan ed. ) rata-rata mencapai 50 cm. Bagian bawah yang masih lembab tidak terbakar. Dampak kebakaran pda lahan gambut angkal antara lain tersingkapnya lapisan sedimen yang menjadi dasar dari gambut. Jika sedimen yang tersingkap merupakan sedimen yang terbentuk di lingkugan air payau yang mengandung pirit maka dimungkinkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasikan asam , sehingga pH lingkungan rawa dapat menurun sampai di bawah 3, akibatnya ekosistem rawa menjadi rusak (chatastrophy). Dampak kebakaran terhadap tegakan adalah tegakan tajuk menjadi terbuka dan tumbuhan mati total. Tegakan hutan di rawa gambut biasanya terbakar hampir total sampai ke akar-akarnya. Hal ini dapat terjadi oleh karena lapisan tanah gambut bagian atas, yang merupakan konsentrasi perakaran ikut terbakar. Kondisi kerusakan permukaan lahan ini akan sangat mempengaruhi ekspresi citra landsat TM (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Dampak Perubahan Ekosistem

Setelah pemaparan mengenai eksplorasi hingga eksploitasi mengenai lahan rawa-gambut ini secara detail diungkap dengan beberapa packaging, maka perubahan penggunaan lahan mengakibatkan berbagai fenomena yang seringkali diluar apa yang dirancang. Sebagian kegiatan perubahan penggunaan lahan tidak didasarkan pada pemahaman ekosistem lahan rawa secara menyeluruh (holistik), seperti pemahaman kondisi hidrologis yang termasuk bentuk dome, karakteristik dasar rawa, bahan mineral di bawah gambut dan struktur ekosistem lahan rawa tersebut, yang sebenarnya telah memberikan banyak hasil bagi kehidupan. Di beberapa tempat hutan rawa telah berkembang (developed) menjadi kota dan lahan pertanian atau perkebunan yang memberikan hasil yang teratur, namun sebagian besar berubah menjadi lahan vang tidak berkembang atau rusak (ma/-developed). Kerusakarl ini terjadi oleh karena berbagai dampak pembukaan hutan rawa tropika ini tidak diantisipasi dengan baik. Beberapa dampak penting yang timbul dalam pembukaan rawa adalah :

  1. Adanya penurunan permukaan lahan (subsidence) dan air tidak dapat terdrainase dengan baik sehingga mengakibatkan adanya genangan-genangan permanen
  2. Di tempat-tempat yang berpotensi sulfat masam, jika permukaan air turun maka kondisi tanah menjadi lebih oksidatif, akibatnya akan timbul sulfat masam, yang menyebabkan tanaman budidaya tidak dapat tumbuh dan banyak ikan dan biota air mati
  3. Jika tanahnya bergambut, penurunan permukaan lahan menyebabkan tanah gambut mengering sehingga rentan terhadap kebakaran
  4. Pembuatan saluran dan jalan menyebabkan akses lebih mudah sehingga ektrasi sumberdaya alam, misalnya kayu, menjadi lebih mudah serta proses pembabatan hutan dipercepat. Disamping itu, intensitas lalu-lalang manusia meningkat sehingga resiko kerusakan oleh karena kebakaran meningkat
  5. Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya ditinggalkan oleh penduduk, karena sudah tidak prosuktif lagi. Lahan yang demikian biasanya ditumbuhi oleh purun dan kemudian bersuksesi menj adi semak belukar dan kemudian menjadi hutan gelam. Kondisi dari masingmasing strata suksesi ini akan menimbulkan penampakan citra landsat TM yang berbeda.

Pengelolaan Lahan Rawa-Gambut yang Ekologis dan Holistik

Pengelolaan lahan gambut perlu didasarkan pada karakteristik ekosistem tropika. Pada dasarnya gambut di Indonesia mempunyai bentuk kubah. Bentuk ini menjamin adanya sirkulasi air dari puncak dome menuju ke bagian kaki-kaki kubah. Sirkulasi air inilah yang menyebabkan ekosistem gambut dapat produktif. Sifat gambut yang porous menyebabkan gambut dapat menyimpan air dalam jumlah yang cukup besar (sampai 500 persen dari bobot keringnya). Dengan senantiasa menjaga puncak kubah maka peredaran air dalam ekosistem lahan gambut dapat terjaga dan eksistensi ekosistem gambut dapat dipertahankan. Adanya cadangan air di puncak dome sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air agar tetap dapat memungkinkan biota tetap hidup dan berproduksi. Air gambut biasanya mempunyai pH sekitar 4 -4,5 dan masih memungkinkan biota untuk mempertahankan hidupnya. Selain itu, air yang mengalir, meskipun sangat perlahan, memungkinkan kualitas air tetap terjaga (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Secara tradisional, kelangsungan handil-handil yang ada di Sumatra dan Kalimantan lebih disebabkan oleh karena masih adanya air yang senantiasa mengalir dari puncak dome ke handil-handil tersebut. Air yang mengalir ini bukan saja memberi pengairan, tetapi juga berfungsi sebagai pencuci senyawa-senyawa beracun yang mungkin timbul oleh karena lahan gambut di drainase untuk pertanian. Senyawa beracun yang mungkin timbul adalah senyawa sulfat masam (acid sulphate) sebagai hasil proses oksidasi bahan sulfidik seperti mineral pirit (FeS2). Senyawa beracun ini timbul pada lahan gambut dangkal yang dasar gambutnya merupakan sedimen yang proses pembentukannya terjadi di lingkungan air payau (brackish water). Sebagai akibat dari adanya senyawa sulfat masam ini adalah tumbuhan, terutama tumbuhan budidaya, tidak dapat berproduksi atau bahkan mati. Saat ini ratusan ribu hektar lahan yang ditinggalkan oleh masyarakat (abandoned) baik di Sumatra maupun di Kalimantan disebabkan oleh senyawa sulfat masam tidak dapat didrainase keluar (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Sehubungan dengan itu, maka pengelolaan lahan gambut harus senantiasa memandang bahwa suatu pulau ( antara 2 sungai) adalah satu unit ekosistem, sehingga dalam pengelolaannya harus merupakan satu unit pengelolaan. Bentuk kubah gambut dipakai sebagai dasar untuk mengatur tata ruang penggunaan lahan gambut tersebut. Kaki kubah termasuk tanggul-tanggul alam sungai (levee) yang telah dikelola oleh masyarakat , misalnya untuk kebun rotan, sagu, padi dan tanaman lainnya tetap dialokasikan untuk pertanian rakyat. Puncak kubah harus senantiasa di jaga keutuhannya, sehingga dialokasikan bagi wilayah konservasi, agar fungsinya sebagai pemasok air senantiasa tefap terjaga (Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Wilayah antara puncak dan kaki kubah, jika terpaksa harus dimanfaatkan, dapat dialokasikan bagi tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri yang menggunakan tanaman tahunan, dengan bangunan parit-parit minimal dan pengaturan air yang sangat disiplin agar air tetap mengalir dan permukaan air senantiasa terjaga, sehingga drainase berlebih (over drainaged) dapat dihindari. Parit biasanya merupakan akses, sehingga harus dijaga agar mereka yang bukan pengelola tidak mudah masuk kewilayah ini, sehingga dapat dihindari penebangan kayu di bagian puncak kubah. Oleh karena gambut mudah terbakar, maka bahaya kebakaran harus dicegah sedini mungkin dengan melarang kemungkinan timbulnya api.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang hendak dikemukakan dalam penulisan makalah ini tidak lepas dengan adanya permasalah yang mndasar sehingga kesimpulan yang mana merupakan benang merah hingga rekomendasi praktis dapat diambil sebagai suatu wacana hingga unit keutuhan yang bisa diambil sebagai kajian lahan rawa dan pasang surut secara lebih bijak, antara lain:

- Pemanfaatan serta pengelolaan yang serasi sesuai dengan karakteristik, sifat serta kelakuannya dan pembangunan prasaranan, sarana pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan dapat mengubah lahan tidur (bongkor) menjadi lahan produktif

- Perencanaan hingga dukungan pengetahuan yang kurang maksimal dalam reklamasi lahan rawa hingga gambut akan mengakibatkan kemerosotan produktifitas pertanian dan meningkatkan tingkat kemiskinan diiringi dengan ledakan populasi yang ada

3.2. Rekomendasi

Dalam penulisan makalah mengenai reklamasi lahan rawa dan pasang surut ini, kami menghimpun beberapa rekomendasi praktis untuk megerem eksploitasi lahan tersebut, antara lain:

- Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan menjadikan lahan tersebut menjadi produktif lagi untuk lahan pertanian adalah dengan penrapan teknik rehabilitasi yang berkiblat pada konservasi sumberdaya tanah dan air secara optimal

- Disamping perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan lahan/tanah dan air sebaik-baiknya

- Pengembangan lahan rawa memerlukan penerapan teknologi yang sesuai dari segi pengelolaan tanah dan air yang tepat (high presition)

- Pengelolaan lahan rawa-gambut haruslah memperhatikan karakteristik biofisik yang ada, sehingga ekologi terjaga

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Rawa___diakses di: www.google.com tanggal 19 Oktober 2008. Hal. 1-3

DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. 2008. Pedoman Teknis Reklamasi Lahan Rawa Tahun 2008. Direktorat Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta. PT. PLA B.2.4-2008

Mulyanto, Budi; Basuki Sumawinata. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Secara Ekologis Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Center for Wetlands Studies. Departement of Soil Science-Faculty of Agriculture Bogor Agricultural University. Bogor. Email : cwsipb@indo.net.id. Hal. 1-8

Salim, E. Hidayat; Siti Mariam. 2007. Pengelolaan Tanah da Air (Bahan Kuliah). Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Hal. 132

Suriadikarta, Didi Ardi; Mas Teddy Sutriadi. 2007. Jenis-jenis Lahan Berpotensi Untuk Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor. 26 (3). Hal. 115-122.

5 komentar:

  1. gan foto nya kok ga muncul ya.....ijin ngopy buat tugas gan....

    BalasHapus
  2. Salam, Makaci info na yah.... bwt tgas q

    BalasHapus
  3. ijin yaa ngopy buat tugas :) sayang fotonya gk bisa diliat. tapi makasih byk

    BalasHapus
  4. Lucky Club Casino Site Review and Bonus - LuckyClub.live
    Lucky Club Casino is a new online casino that was launched in 2017. The site has been updated luckyclub with more features since the year 2017.

    BalasHapus
  5. Lucky Club - Lucky Club
    Lucky Club was established in 2004. In 2010 they opened their doors to the whole family to all of our world's most successful players. We wanted to luckyclub create a  Rating: 4 · ‎3 votes

    BalasHapus