Rabu, 28 Januari 2009

Manajemen Sistem Irigasi melalui Penilaian Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi dalam Budidaya Tanaman Pertanian

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, berkat rahmat Allah Yang Maha Berkehendak dan disertai dengan usaha tanpa lelah penyusun, akhirnya penyusunan makalah berjudul ”Manajemen Sistem Irigasi melalui Penilaian Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi dalam Budidaya Tanaman Pertanian” dapat terealisasikan dan terselesaikan tepat pada waktu yang telah ditetapkan.

Secara garis besar makalah ini berisikan tentang pengkajian terhadap pengelolaan tanah dan air dalam kaitannya untuk kebutuhan irigasi dalam budidaya tanaman pertanian. Disajikan di dalamnya kriterian kelas kesesuaian lahan yang agar dapat dinilai kesesuaiannya bagi kebutuhan irigasi secara lebih baik dan terarah.

Ucapan terima kasih kami kepada segenap dosen pembimbing mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air yang telah mengamanatkan tugas penyusunan makalah ini, kepada rekan-rekan satu kelompok, kepada rekan-rekan perkuliahan, dan kepada pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penyusunan makalah.

Harapan kami, semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat dijadikan suatu referensi ilmiah yang berguna bagi para pembaca yang memang berminat terhadap permasalahan pengelolaan tanah dan air untuk kebutuhan irigasi. Tak terlepas tentunya dengan harapan semoga saran dan kritik dari para pembaca dapat menjadi masukan yang berharga bagi penyusun.

Jatinangor, 10 November 2008

Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB 1 PENDAHULUAN 3

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Tujuan Penyusunan 3

BAB 2 PEMBAHASAN 4

2.1 Sistem Irigasi 4

2.1.1 Sistem irigasi sebagai sistem common pool resources 4

2.1.2 Sistem irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat 5

2.2 Evaluasi Lahan untuk Kebutuhan Irigasi 8

2.2.1 Tanah 8

2.2.2 Topografi 9

2.2.3 Drainase 11

2.3 Kelas Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi 11

BAB 3 PENUTUP 16

3.1 Kesimpulan 16

3.2 Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Self governance pengelolaan sumber daya air telah diimplementasikan dalam sistem Subak di Bali selama berabad-abad dengan berlandaskan harmoni dan kebersamaan yang berpedoman kepada filosofi Tri Hita Karana ~ harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antara manusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia. Ketiga harmoni tersebut menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai (DAS) (Sudaratmaja dan Soethama 2003). Sistem Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan seyogyanya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development) telah diimplementasikan dalam sistem Subak.

Untuk mengelola suatu lahan dengan sistem irigasi seperti sistem Subak diperlukan suatu survai dan evaluasi terhadap lahan yang memadai agar perwujudan multifungsi ekosistem pertanian dapat terlaksana secara nyata. Hal ini dimaksudkan sebagai penilaian terhadap kriteria irigasi secara teknis, apakah sistem irigasi tersebut telah sesuai dengan kebutuhan lahannya apabila dikaitkan dengan nilai-nilai kelas kesesuaian lahan yang ada.

1.2 Tujuan Penyusunan

Penyusunan makalah bertajuk Sistem dan Teknik dalam Pengaturan Air Irigasi ini menitikberatkan kepada seberapa besar pengaruh pengelolaan sistem irigasi terhadap evaluasi lahan untuk kebutuhan irigasi itu sendiri. Sehingga tujuan utama makalah ini adalah untuk menilai sejauh mana irigasi dibutuhkan bagi suatu lahan jika dinilai berdasarkan kelas kesesuaian lahannya.


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Irigasi

Dalam pengertian yang sederhana, irigasi adalah usaha untuk menyediakan dan mengatur air dalam menunjang pelaksanaan kegiatan budidaya tanaman pertanian. Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaannya. Daerah Irigasi (DI) adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

Pembangunan sistem irigasi diperlukan terutama untuk daerah-daerah di mana air merupakan pembatas utama bagi pengembangan pertanian. Di samping itu pembangunan sistem irigasi sangat diperlukan untuk peningkatan intensitas penggunaan lahan, baik untuk tanaman palawija maupun padi sawah agar pengelolaannya melalui evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan.

Oleh sebab itu, perencanaan irigasi dalam pengelolaannya sebagai suatu sistem perlu memperhatikan tiga aspek penting, yaitu:

2.1.1 Sistem irigasi sebagai sistem common pool resources

Dilihat dari karakteristik sumberdayanya maka sumber air dan segala aspek pemanfaatannya bersifat sumberdaya milik bersama (common pool resource) dan polisentris (Ostrom, 1990). Sifat tersebut sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya, biaya pembatasnya (exclusion cost) menjadi tinggi, pengambilan suatu unit sumberdaya akan mengurangi kesediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya (substractibility atau rivalry). Akibatnya setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia untuk berkontribusi terhadap penyediaannya atau pelestariannya dan rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih atau kerusakan sumberdaya. Hal ini dikenal sebagai tragedy of the commons (Harding, 1968). Tragedi ini bias terjadi jika tidak ada pembatasan, aturan, pemanfaatan sumberdaya sehingga bersifat akses terbuka (open access). Alokasi sumberdaya milik bersama dilakukan dengan mengatur (Hardin, 1968): (i) akses terhadap sumberdaya; dan (ii) aturan pemanfaatannya melalui privatisasi (private property rights) atau kepemilikan Negara (state property rights). Kebijakan ini tidak selalu berhasil dilakukan pada sumberdaya milik negara, karena pengelola tidak dapat mengatasi: (i) biaya transaksi yang tinggi dalam penegakan aturan atau penjagaan sumberdaya, seperti biaya pengawasan, personil, dsb, sehingga penumpang bebas (free rider) tidak dapat dikontrol; (ii) tindakan oportunis (opportunistic behavior) berupa perburuan rente (rent-seeking) oleh aparat pengawas lapangan. Oleh sebab itu sistem irigasi yang bersifat common pool resources dan sekaligus polisentrisitas akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan berdialog untuk berkomitmen dan membangun konsensus (Ostrom, 1990).

2.1.2 Sistem irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat

Sistem irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat saling bergantung secara erat dalam suatu keadaan ketersediaan air yang dinamis baik secara spasial maupun temporal (Pusposutardjo dan Arif, 1999; Arif, 2006). Sebagai sistem sosio-kultural masyarakat, Arif (2006) menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sistem irigasi tergantung pada: (i) azas legal dan tujuan manajemen yang jelas; (ii) modal (aset) dasar yang kuat; dan (iii) sistem manajemen yang handal untuk dapat mewujudkan tujuan manajemen yang telah disusun lengkap dengan kriteria keberhasilannya.

(1) azas legal dan tujuan manajemen irigasi

Keberadaan dan keberhasilan manajemen sistem irigasi saat ini masih didominasi dan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai regulador dan pengelolaan di aras DI. Sebagai contoh, semua kebijakan harus mengacu kepada UU no 7/2004 dan PP no 20/2006 dengan pokok-pokok isi: (i) azas good governance sebagai bingkai azas pembangunan keberlanjutan,kerakyatan dan manajemen provisi (Pasal 2 s/d Pasal 6); dan (ii) azas partisipatif (pasal 84). Pasal-pasal tersebut sesuai dengan takrif tentang good governance dan manajemen proviso (UN-ESCAP, 2005, Huppert et al, 2001). Pasal 34 ayat (1) UU no 7/2004 mengatur tentang pengembangan sumberdaya air untuk penyediaan air baku bagi berbagai keperluan termasuk pertanian, kemudian diikuti Pasal 41 ayat (1) sampai (6) serta Pasal 64 ayat 6 tentang operasi dan pemeliharaan irigasi. Seluruh pasal-pasal tersebut secara umum berlaku pula untuk kebijakan pengelolaan irigasi.

Pasal 41 menjelaskan tentang kewenangan pengelolaan irigasi utama (primer dan sekunder) DI (luas > 3000 ha) berada di bawah pemerintah pusat, DI 1000 ha–3000 ha kewenangan pemerintah provinsi dan DI <>

Pengembalian kewenangan pemerintah pusat/daerah sebagai pengelola irigasi jaringanutama sama dengan PP 23/1982 (mengacu UU no 11/1974). Beberapa perubahannya adalah: (i) tujuan irigasi bukan untuk swa sembada pangan (beras), tetapi juga untuk pencapaian ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Perubahan dimulai sejak PKPI (1999) dan didukung oleh UU no 12/1992 tentang budidaya tanam; (ii) dasar manajemen irigasi berubah dari produksi menjadi provisi (manajemen pelayanan), pemanfaatannya melalui penetapan dan kesepakatan bersama. Manajemen provisi mengacu pada: (i) azas demokratisasi dan desentralisasi otonomi pemerintahan (UU no 32/2004 dan UU no 7/2004 Ps 2 s/d Ps 6) atas dasar partisipasi dan dialog; (ii) perubahan fungsi air dari sosial menjadi ekonomi dan lingkungan (Ps. 3 s/d 6 UU no 7/2004); (iii) adanya kemajuan teknologi informasi, sehingga masyarakat menjadi terbuka dan kaya informasi.

(2) modal (aset) dasar irigasi

PP no 20/2006 menetapkan bahwa aset sistem irigasi terdiri atas: (i) prasarana jaringan irigasi, dan (ii) aset pendukung pengelolaan irigasi, terdiri atas kelembagaan pengelolaan irigasi, sumberdaya pendukung serta fasilitas pendukung. Agar tercapai keberhasilan manajemen sistem irigasi maka perlu ditambah aset ketersediaan sumberdaya air yang handal, dukungan finansial dan teknologi sepadan.

i) ketersediaan air irigasi

Ketersediaan air irigasi yang kontinyu sepanjang tahun merupakan suatu modal dasar yang sangat esensial. Informasi tentang keberadaan dan ketersediaan air irigasi berbasis waktu merupakan sesuatu yang mutlak untuk dipunyai pengelola sebagai sarana pengambilan keputusan yang jitu untuk melayani para pengguna dan pemanfaatnya. Informasi yang handal diperoleh dari: (i) prasarana, berupa alat ukur yang selalu terkalibrasi; (ii) tata cara pengumpulan informasi yang benar, (iii) profesionalisme dan kompetensi tenaga kerja analis data, (iv) sistem penyimpanan beserta analisis data yang tersistem, handal, akurat, mudah dan murah. Ketersediaan air irigasi juga dipengaruhi oleh hak guna atas air di aras Daerah Aliran Sungai (DAS), sedangkan secara spasial di dalam suatu daerah irigasi sebaran ketersediaan air

juga sangat dipengaruhi pula oleh hak guna air irigasi di antara pemakainya.

(ii) teknologi untuk pelaksanaan manajemen irigasi

Teknologi untuk manajemen irigasi berupa penggunaan alat, mesin serta pengetahuan untuk mendapatkan cara irigasi secara efisien. Bentuk teknologi dalam pengelolaan irigasi adalah: (i) sistem prasarana irigasi; (ii) prosedur dan sistem informasi operasi dan pemeliharaan irigasi. Teknologi pengelolaan irigasi beragam dari satu ke DI lain karena aspek sosio-teknis yang terkandung dalam sistem irigasi. Oleh sebab itu perlu dikembangkan suatu teknologi sepadan yang paling sesuai untuk masing-masing DI melalui tindakan perencanaan, perancangan dan pembangunan yang berurutan, kesamaan asumsi diantara stakeholders agar dapat melakukan tindakan manajemen irigasi secara sepadan.

(iii) Sumberdaya manusia dan Institusi irigasi

Kompetensi SDM dalam hal tepat jumlah dan sasaran merupakan syarat tercapainya pengelolaan irigasi secara handal dan sepadan. Institusi irigasi, bentuk rule in-use dan organisasi pelaksana yang terstruktur, merupakan kelengkapan pengelolaan irigasi yang sepadan. Dalam UU no 7/2004 dan PP no 20/2006, institusi pengelola irigasi hádala pemerintah dan petani serta perlu dibentuk komisi irigasi kabupaten dan provinsi. Untuk DI multiguna dapat membentuk forum komunikasi antar pengguna di aras DI.

(iv) dukungan finansial

Dukungan finansial merupakan komponen penting dalam sistem manajemen. UU no. 7/2004 dan PP no 20/2006 menyebutkan bahwa kewenangan pengelolaan irigasi juga melekat sistem pembiayaannya. Masing-masing pihak pengelola sistem irigasi dibebani tanggung jawab pembiayaan, lembaga (bentuk, struktur) dan prosedur pengelolaannya.

(3) Pelaksanaan manajemen sepadan dan kriteria keberhasilan

Tujuan pengelolaan irigasi yang ingin dicapai perlu dukungan aturan dan kriteria yang dibangun atas dasar kesepakatan antar stakeholders pelaksana manajemen irigasi asas provinsi. Aturan pelaksanaan atas dasar manajemen sepadan, sesuai kebutuhan masing-masing DI lengkap dengan kriteria keberhasilan manajemen.

2.2 Evaluasi Lahan untuk Kebutuhan Irigasi

Evaluasi lahan untuk irigasi bertujuan untuk menetapkan penggunaan tanah dan air secara tepat meliputi perencanaan sistem jaringan irigasi, kebutuhan air untuk irigasi, luas usaha tani, serta operasi dan pemeliharaannya. Dalam hal ini perlu diperhatikan antara lain sifat-sifat lahan, luas lahan yang diairi, letak dan jumlah sumber air yang tersedia, biaya yang diperlukan, dan sebagainya. Hasil-hasil survai tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk evaluasi yang dimaksud.

Faktor-faktor yang dinilai dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi meliputi faktor-faktor tanah, topografi, dan drainase. Faktor-faktor yang berkaitan dengan ekonomi tidak dinilai secara khusus tetapi diperhatikan secara kualitatif.

2.2.1 Tanah

Tanah dinilai berdasarkan atas tekstur lapisan atas dan lapisan bawah, ke dalam sampai lapisan pasir, kerikil, dan lapisan kedap air, kedalaman efektif, kapasitas air tersedia, permeabilitas, alkalinitas, dan salinitas.

Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah menahan dan meresapkan air. Karena itu, tekstur tanah dapat juga menjadi petunjuk tentang besarnya kapasitas air tersedia di dalam tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar akan mempunyai daya penahan air yang rendah, sehingga air mudah meresap dan kapasitas air tersedia menjadi kecil. Dalam hal ini perlu diperhatikan baik tekstur lapisan atas maupun lapisan bawah karena perbedaan tekstur di kedua lapisan tersebut juga menentukan kemampuan tanah menahan air ataupun meresapkan air.

Kedalaman sampai lapisan pasir/kerikil atau lapisan kedap air juga penting pengaruhnya terhadap kemampuan tanah menahan air, keadaan drainase, kapasitas air tersedia, permeabilitas, perkembangan akar, dan sifat-sifat fisik tanah lain yang berhubungan dengan itu.

Alkalinitas dan salinitas penting untuk menunjukkan banyaknya air yang diperlukan dalam mencuci garam -garam yang ada sehingga tidak menjadi racun bagi tanaman. Tanah-tanah dengan alkalinitas dan salinitas tinggi umumnya ditemukan di daerah beriklim kering (arid) sehingga di Indonesia jarang ditemukan. Tanah-tanah dengan salinitas tinggi di daerah pantai terjadi karena pengaruh air laut. Tingkat kesuburan tanah tidak digunakan sebagai faktor penciri karena merupakan sifat yang mudah diubah.

2.2.2 Topografi

Topografi sering merupakan faktor utama dalam menilai kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi karena akan mempengaruhi :

- Metode (sistem) irigasi yang akan dibuat,

- Pembuatan saluran drainase,

- Erosi,

- Efisiensi irigasi,

- Biaya-biaya penyiapan lahan (perataan dan sebagainya),

- Ukuran dan bentuk petak,

- Keperluan tenaga,dan

- Tanaman yang mungkin diusahakan

Empat aspek topografi yang sangat mempengaruhi kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi adalah :

- Lereng

Faktor lereng yang perlu diperhatikan meliputi kecuraman, panjang, dan bentuk lereng. Lereng yang lebih curam selain memerlukan tenaga dan ongkos yang lebih besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lereng-lereng dengan kecuraman yang sama tetapi mempunyi bentuk yang tidak seragam dan pendek.

- Relief mikro

Relief mikro menunjukkan permukaan tanah yang tidak rata dengan perbedaan tinggi antara puncak dan lembah maksimum 5 m. Untuk kebutuhan irigasi, lahan seperti ini perlu diratakan. Besarnya perataan tergantung dari besarnya relief tersebut serta sistem irigasi yang akan dibuat (gravitasi/permukaan, sprinkler, dan sebagainya). Hal-hal tersebut mempengaruhi besarnya biaya yang diperlukan sesuai dengan besarnya: ”cut and fill”, banyaknya tanah yang dipindahkan, jarak pemindahan, sifat-sifat tanah, dan sebagainya. Tebal top soil dan sifat-sifat subsoil juga menentukan biaya penyiapan lahan untuk kebutuhan irigasi. Apabila top soil harus dipisahkan dulu, baru kemudian dikembalikan setelah perataan selesai, biaya akan meningkat. Kadang-kadang hal ini tidak dilakukan karena subsoil yang pada awalnya tidak produktif dapat pula menjadi lebih produktif setelah diberikan air irigasi, pemupukan, penambahan bahan organik, dan sebagainya.

- Relief makro

Dengan metode (sistem) irigasi permukaan (gravitasi) relief makro sangat menentukan apakah suatu lahan dapat dialiri atau tidak. Daerah berbukit dengan banyak puncak akan lebih sulit dirancang untuk irigasi daripada daerah dengan puncak tunggal. Daerah-daerah tersebut tidak mungkin diratakan tetapi masih mungkin dibuat teras sesuai dengan sifat tanah dan kemiringan lerengnya. Daerah dengan banyak puncak akan menyulitkan pembuatan saluran irigasi untuk menyebarkan air ke bagian daerah tertentu.

Ketinggian daerah yang akan diairi dibandingkan dengan kemiringan dan sumber airnya juga sangat menentukan kemungkinan pengembangan irigasi dengan sistem gravitasi di suatu daerah. Bentuk topografi di mana lereng sering tidak teratur kemiringan dan arahnya akan mempengaruhi sistem irigasi yang akan digunakan, ukuran, dan bentuk petak serta biaya penyiapan lahan. Ukuran dan bentuk petak perlu diperhatikan terutama untuk irigasi gravitasi (permukaan) dan untuk mekanisasi.

- Posisi

Letak ketinggian (elevasi) dan jarak dari sumber air menentukan apakah suatu lahan dapat diairi dengan sistem gravitasi. Untuk itu perlu usaha lain misalnya dengan pompa, terowongan air atau talang untuk menembus penghalang-penghalang alami ataupun yang dibuat manusia. Data topografi juga penting untuk mengetahui bahaya banjir dan rancangan pengendaliannya, serta rancangan untuk saluran-saluran drainase permukaan ataupun bawah tanah.

2.2.3 Drainase

Drainase tanah menunjukkan kecepatan hilangnya air dari tanah baik melalui aliran permukaan maupun melalui peresapan ke dalam tanah. Lahan di mana air tidak mudah hilang dari tanah disebut lahan yang berdrainase buruk.

Untuk tanaman lahan kering (palawija, kebun campuran, dan lain-lain) lahan berdrainase buruk perlu dibuatkan saluran-saluran pembuang air (saluran drainase) agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Irigasi untuk tanaman lahan kering bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat-saat diperlukan, tetapi harus dijaga agar jangan sampai terjadi genangan yang berlebihan sehingga mengganggu perakaran tanaman. Karena itu saluran-saluran pembuangan air (saluran drainase) sangat diperlukan untuk tanah-tanah berdrainase buruk. Drainase dalam yang baik sedalam 40-50 cm atau lebih, dibutuhkan tanaman yang memerlukan aerasi yang baik seperti jagung, kacang-kacangan, dan lain-lain.

Berbeda dengan tanaman palawija, padi sawah dapat tumbuh baik pada tanah-tanah yang berdrainase buruk. Tanah-tanah dengan permeabilitas yang lambat masih baik untuk padi, tetapi kurang baik untuk tanaman palawija. Karena itu kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah terutama yang berkaitan dengan drainase dan permeabilitas perlu dibedakan dengan tanaman palawija.

2.3 Kelas Kesesuaian Lahan untuk Kebutuhan Irigasi

Dengan memperhatikan kerangka evaluasi FAO (1976) dan sistem USBR (1953), klasifikasi kesesuaian lahan untuk kebutuhan irigasi dibedakan ke dalam:

· Kelas

Kelas 1 = Sangat sesuai

Kelas 2 = Cukup sesuai

Kelas 3 = Agak sesuai

Kelas 4 = Sesuai marginal

Kelas 5 = Sementara tidak sesuai

Kelas 6 = Tidak sesuai selamanya

· Subkelas: Dibedakan dengan jenis faktor penghambatnya dalam masing-masing kelas.

· Unit: Dibedakan dengan jenis faktor penghambat dalam masing-masing subkelas.

Untuk pemetaan tanah semi detail (1:50.000) klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan sampai tingkat subkelas.

Lahan Kelas 1, 2, 3 merupakan lahan yang sesuai untuk irigasi dengan kelas kesesuaian lahan yang berturut-turut semakin rendah karena besarnya faktor penghambat yang semakin meningkat.

Lahan Kelas 4 merupakan lahan yang sesuai untuk irigasi dengan pengelolaan khusus. Hambatan-hambatan yang ditemukan pada lahan ini untuk penggunaan khusus, secara ekonomis masih dapat diatasi.

Lahan Kelas 5 merupakan pengkelasan sementara, dimana pada saat survai dilakukan lahan tidak sesuai untuk irigasi, tetapi dengan usaha-usahatertentu diperkirakan dapat menjadi lahan yang sesuai. Perlu penelitian lebih lanjut apakah usaha-usaha perbaikan tersebut secara ekonomis masih dapat diatasi.

Lahan Kelas 5 dapat mempunyai penghambat khusus seperti salinitasyang tinggi, topografi berbukit, hamparan batuan atau laterit pada kedalaman kurang dari 150 cm, dan sebagainya. Termasuk juga Lahan Kelas 5 adalah lahan yang sesuai untuk pertanian tetapi merupakan daerah sempit yang terisolasi dalam. Demikian juga lahan yang sesuai untuk pertanian tetapi terletak pada tempat yang lebih tinggi dari sumber air sehingga dengan sistem irigasi gravitasi tidak mungkin diairi. Apabila irigasi dilakukan dengan pompa, lahan ini dapat menjadi lahan yang sesuai untuk irigasi.

Lahan Kelas 5 untuk irigasi dipisahkan hanya bila kondisi daerah memerlukan pertimbangan lebih lanjut tentang lahan dalam hubungannya dengan proyek irigasi, misalnya: jika persediaan air masih cukup banyak atau kekurangan jumlah lahan yang baik diperlukan, mendesaknya rehabilitasi atau pemukiman kembali, dan sebagainya.

Lahan Kelas 5 merupakan kelas sementara dan berdasarkan penelaahan lebih lanjut tentang kemungkinan perbaikan secara ekonomis, kelas kesesuaian lahan dapat berubah menjadi lahan sesuai atau lahan tidak sesuai selamanya (Kelas 6).

Lahan Kelas 6 merupakan lahan yang tidak sesuai selamanya untuk pertanian irigasi. Hambatan-hambatan yang ditemukan, secara ekonomis dan fisik tidak dapat diatasi.

Lahan Kelas 6 umumnya terdiri dari lahan yang curam, bergunung, tererosi berat, tekstur sangat kasar, tanah dangkal di atas kerikil, napal (shale), batu pasir, atau lahan yang berdrainase sangat buruk ataupun terlalu sering kebanjiran (flood) yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki.

Kelas lahan selanjutnya dibagi ke dalam subkelas yang menunjukkan jenis faktor penghambat terberat sehingga dimasukkan ke dalam subkelas tersebut. Subkelas ditunjukkan dengan menambah huruf kecil atau kombinasi beberapa huruf kecil di belakang kelas yang masing-masing menunjukkan jenis faktor penghambat terberat tersebut. Huruf-huruf kecil yang digunakan adalah s: tanah, t: topografi, dan d: drainase.

Contohnya subkelas 2s adalah lahan yang termasuk Kelas 2 dengan tanah sebagai faktor penghambat utama. Faktor penghambat tanah tersebut dapat berupa tekstur tanah ataupun kedalaman tanah. Subkelas 3ts berarti Lahan Kelas 3 dengan faktor penghambat utama topografi dan tanah. Pada tabel 1 disajikan kriteria klasifikasi kesesuaian lahan untuk irigasi bagi tanaman padi sawah sedangkan tabel 2 disajikan kriteria bagi tanaman semusim lahan kering.

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Lahan untuk Irigasi Tanaman Padi Sawah


Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Lahan untuk Irigasi Tanaman Semusim Lahan Kering



BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam penyusunan makalah ini kami akan menguraikan beberapa benang merah yang termuat kedalam bahasan kesimpulan sehingga permasalahan mengenai pengelolaan tanah melalui manajemen teknik irigasi ini lebih terarah. Beberapa kesimpulan yang dapat dijabarkan antara lain :

* Untuk mengelola suatu lahan dengan sistem irigasi diperlukan suatu survai dan evaluasi terhadap lahan yang memadai sehingga multifungsi ekosistem pertanian dapat terlaksana secara nyata.

* Kelas kesesuaian lahan sangat mendukung pengalokasian serta pengimplementasian lahan irigasi.

* Sifat fleksibel dari kajian pengelolaa tanah ini sangat berkaitan atau adanya interdependesi satu sama lain dengan tingkat presisi survai hingga evaluasi kesesuaian lahan

3.2 Saran

Rekomendasi yang hendak diterapkan dalam makalah ini dapat dipaparkan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan pemahaman pembaca, antara lain:

* Dalam penentuan alokasi petak irigasi diperlukan beberapa pertimbangan evaluasi hingga kesesuaian lahan yang ada

* Kebutuhan tanaman serta karakteristik tanah wajib diperhatikan sebagai prioritas dalam pengelolaan tanah dan air

* Teknologi serta teknik irigasi hingga drainase yang ”up date” harus terus digenjot sedemikian rupa sehingga keberhasilan dalam produksi pertanian dapat terus ditingkatkan


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Sigit S., dkk. 2007. Pengembangan Konsep Sistem Operasi dan Pemeliharaan Daerah Irigasi Multiguna dengan Membangun Komitmen untuk Berbuat Konsensus Antar Pelaku: Sebuah Kasus di Jawa Timur. Universitas Gadjah Mada beserta Instansi-Instansi terkait.

Fagi, Achmad M. 2007. Menyiasati Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian Masa Depan. Iptek Tanaman Pangan Vol 2 No 1.

Hidayat, Anwar. 2001. Irigasi dan Budidaya Tanaman. Prosiding Seminar Tani: Program Pengembangan Keahlian Budidaya Tanaman. Depdiknas.

Kartasapoetra, A.G., dkk. 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Kertonegoro, Bambang Djadmo; Syamsul Arifin Siradz. 2006. Kamus Istilah Ilmu Tanah. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah tentang Irigasi no 23/1982.

Salim, E. Hidayat; Siti Mariam 2007. Pengelolaan Tanah dan Air (Bahan Kuliah). Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar