Rabu, 28 Januari 2009

Usaha Tani...apapun untuk modernisasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejalan dengan makin banyaknya yang ditimbulkan oleh paket pertanian modern, akibat penggunaan pupuk kimia, pestisida dan serta zat-zat lainnya dalam jumlah yang berlebihan, maka dampak negatif pertanian modern mulai mendapat perhatian yang serius. Meskipun pakar lingkungan mulai memperhatikan masalah yang berhubungan dengan penggunaan bahan kimia pertanian sejak 20 tahun sebelumnya. Perhatian terhadap dampak penggunaan pupuk kimia mulai tampak pada akhir tahun tujuh puluhan, setelah residu pupuk terutama nitrogen mulai diketahui mencemari air tanah sebagai sumber air minum, sehingga akan membahayakan kesehatan manusia.

Penggunaan pupuk kimia yang cenderung meningkat tidak terlepas dari kemampuannya meningkatkan produktivitas dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan pupuk kimia dianggap sebagai teknik yang ampuh untuk meningkatkan produksi. Berdasarkan catatan badan Dunia FAO, bahwa penggunaan pupuk yang sepadan dan berimbang di negara-negara sedang berkembang dapat meningkatkan hasil pangan mencapai 50 – 60 %. Kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia ( Wolf, 1986).

Hingga saat ini, ada dua macam praktek pertanian yang berkembang yaitu : teknologi revolusi hijau (khususnya sawah) dan teknologi lahan kering. Teknologi revolusi hijau cukup berhasil karena adanya infrastruktur dan perangkat kelembagaan yang mendukung, Keberhasilan ini terutama dikaitkan dengan penggunaan input yang tinggi, terutama penggunaan pupuk pestisida yang tinggi.

Sedangkan teknologi lahan kering, pengembangannya masih saat terbatas dan bahkan ada kesan diabaikan. Pertanian modern yang bertumpu pada pasokan eksternal berupa bahan-bahan kimia buatan (pupuk dan pestisida), menimbulkan kekhawatiran berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sedangkan pertanian tradisional yang bertumpu pada pasokan internal tanpa pasokan eksternal menimbulkan kekhawatiran berupa rendahnya tingkat produksi pertanian, jauh di bawah kebutuhan manusia. Kedua hal ini yang dilematis dan hal ini telah membawa manusia kepada pemikiran untuk tetap mempertahankan penggunaan masukan diluar sistem pertanian itu, namun tidak membahayakan manusia dan kehidupannya (Mugnisjah, 2001). Pertanian modern dikhawatirkan memberikan dampak pencemaran sehingga membahayakan kelestarian lingkungan, hal ini dipandang sebagai suatu krisis pertanian modern.

Sebagai alternatif penanggulangan krisis pertanian modern adalah penerapan pertanian organik. Kegunaan budidaya organik menurut Sutanto (2002) adalah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pemanfaatan pupuk organik mempunyai keunggulan nyata dibanding pupuk kimia. Pupuk organik merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik berdaya amliosari ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus menkonservasikan dan menyehatkan ekositem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan. Dengan demikian penerapan sistem pertanian organik pada gilirannya akan menciptakan pertanian yang berkelanjutan.

Kembali kepada perumusan silabus mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air yang berbobot 3 SKS, maka makalah ini disusun berdasarkan pemaparan :

- Perladangan berpindah

- Budidaya tanaman pangan

- Intensitas penanaman

- Budidaya tanaman pangan non-padi

- Budidaya tanaman padi

- Pola tanam

- Usahatani

1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

- Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti mata kuliah pengelolaan tanah dan air

- Sebagai tuntunan dalam mata kuliah pengelolaan tanah dan air

- Untuk memahami perkembangan pengusahaan sumberdaya lahan, khususnya yang ada di Indonesia

- Untuk mengetahi perkembangan serta pengaruh yang ditimbulkan oleh sistem perladangan berpindah

- Mengetahui teknik serta budidaya tanaman pangan di masa sekarang dengan melihat intensitas penanaman, budidaya tanaman non-padi, dan budidaya tanaman padi itu sendiri

- Mengetahui pola tanam serta usahatani yang dijalankan oleh para praktisi pertanian, mulai dari para petani kecil hingga pemegang kebijakan pertanian dalam mengelola segala aspek serta aktivitas pertanian Indonesia.

1.3. Teknik Penulisan

Dalam pelaksanaannya, penyelesaian makalah ini melalui beberapa teknik yang terus dikembangkan, yaitu melalui :

- Diskusi kelompok baik sistem intern ataupun ekstern

- Dengan mencari segala daftar pustaka atau bahan penyusunan makalah dari buku/literatur yang berhubungan dengan mata kuliah pengelolaan tanah dan air

- Download via internet berupa : artikel, jurnal, hingga paper ilmiah


BAB II

PENGUSAHAAN SUMBERDAYA LAHAN DI INDONESIA

2.1. Perladangan Berpindah (Shifting Cultivations)

Perladangan dengan penerapan sistem berpindah (shifting cultivations) merupakan salah satu sistem pertanian tradisional. Pernah juga sistem pertanian semacam ini dilarang dikarenakan beberapa alasan yang sangat krusial, diantaranya adalah perladangan berpindah terebut memboroskan hara tanah, jatah lahan garapan yang terlalu intensif sehingga dalam pengelolaannya dipandang terlalu gegabah, sebagai salah satu penyuplai pemanasan global, serta tidak tebang pilih saat pembukaan lahan baik melalui pembakaran ataupun tanpa pembakaran lahan.

Akan tetapi pandangan itu semua kini telah berubah, seiring dengan penerapan teknologi yang holistic serta alih fungsi teknologi yang tepat guna. Perladangan berpindah ini menerapkan kaidah-kaidah yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Ini semua dikarenakan beberapa alasan lain yaitu penerapan sistem bera tanah (masa istirahat tanah) yang secara alami dapat memulihkan kesuburan serta kualitas tanah guna mendukung produktivitas serta potensi pertanian yang dikembangkan secara berkelanjutan.

Kembali kepada konteks awal, pertanian dengan sistem berpindah tersebut kerapkali dilakukan oleh sebagian besar masyarakat adat yang ada di Indonesia. Dengan adanya perspektif yang telah dipaparkan secara tidak langsung budidaya pertanian yang ramah lingkungan dengan melalui teknik perlindungan ekosistem tradisional.

Seiring dengan perkembangan serta kesadaran akan pentingnya basis sektor pertanian (karena kerapkali pertanian dianaktirikan di negeri sendiri dibandingkan dengan sektor industri), maka perhatian beberapa pejabat yang terlibat langsung dengan aktivitas usaha pertanian dan kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan yang tertuang dalam beberapa keputusan tertulis (Undang-Undang) serta Keputusan Menteri. Beberapa peraturan yang dituangkan kedalam undang-undang mengenai perladangan dengan sistem berpindah yang telah dikeluarkan antara salah satunya KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEHUTANAN, MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI TRANSMIGRASI DAN PEMUKIMAN PERAMBAH HUTAN NOMOR 480/Kpts-II/1993 dan NOMOR : 74 Tahun 1993 SKB. 69/MEN/1993. Disini terlihat adanya bentuk “pengereman” melalui penanganan perambahan hutan dan perladangan berpindah. Bahwa perambahan hutan dan perladangan berpindah mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam hutan, tanah dan air, yang pada akhirnya mengganggu keseimbangan alam lingkungan dan pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Maka untuk menjaga kelestarian hutan, tanah dan air serta untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan taraf hidup masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, perlu dilakukan penanganan perambah hutan dan perladangan berpindah yang lebih terarah dan terkoordinasi.

Apapun yang dilakukan secara berlebihan akan mendatangkan kerugian. Dapat dilihat adanya eksplorasi yang berlebih terutama untuk mendapatkan sumberdaya alam tanpa mengenal kaidah serta batasan-batasan dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu keputusan tersebut dikeluarkan dengan koordinasi yang dilakukan secara vertikal. Sehingga para penggerak sistem yang ada (terutama bidang pertanian dan kehutanan) dapat malakukan kegiatan secara optimal. Kelestarian sumberdaya tanah, air, hutan dan bahkan perambah (yang kerapkali melakukan peladangan berpindah) dapat terjaga sedemikian rupa.

Pola pengelolaan pertanian yang lebih tinggi dari pemburu dan pengumpul adalah peladang berpindah. Peladang berpindah telah melakukan bercocok tanam dengan menanam tanam-tanaman tertentu. Umumnya, dalam pola ini para peladang telah menternakkan hewan tertentu. Karena itu mereka melakukan pembudidayaan tumbuhan dan hewan yang dianggap berguna untuk memenuhi kebutuhan pangannya pada sebidang lahan tertentu.

Para peladang juga sudah memulai proses seleksi bibit tanaman dan hewan yang akan mereka budidayakan. Dengan adanya seleksi itu terjadilan perubahan evolusioner dalam sifat dan jenis yang dibudidayakan. Antara lain pertumbuhan yang lebih cepat, hasil yang lebih tinggi, serta mengandung sifat, rasa, warna dan bentuk yang disukai.

Peladang berpindah mempunyai bermacam-macam variasi. Pada dasarnya terdiri atas membuka sebidang hutan dan menanami lahan hutan yang telah dibuka ini selama dua atau tiga tahun. Kemudian lahan itu ditinggalkan dan membuka lahan hutan baru di tempat lain dan seterusnya. Setelah lahan dibuka, sebagian kayu digunakan untuk memagari lahan yang telah dibuka tersebut untuk melindunginya dari hewan, misalnya babi hutan. Kayu dan ranting yang tidak terpakai setelah kering di bakar. Pembakaran ini membebaskan meneral yang terkandung di dalam bahan organik tumbuh-tumbuhan. Mineral dalam abu inilah yan menjadi sumber hara tanaman.

Setelah pembakaran dilakukan, dilanjutkan dengan penanaman tanpa didahuli oleh pengolahan tanah. Biji bibit tanaman dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat dengan kayu. Bahan tanaman lain, misalnya batang ubi jalar, tebu dan singkong, ditanam dengan sangat sederhana.

Dalam perladangan berpindah, kampung dapat berpindah pindah pula. Tetapi ada juga kampung yang menetap dan orang membuat gubuk sementara di ladangnya. Setelah dua atau tiga kali panen, hasil panen akan menurun. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah, karena mineral dari abu telah terserap oleh tanaman dan sebagian lagi tercuci oleh hujan. Penurunan hasil juga disebabkan oleh makin banyaknya gulma, hama dan penyakit yang menggangu tanaman. Selanjutnya tempat itu ditinggalkan dan akan kembali menjadi hutan baru lagi.

Pola peladangan berpindah ini, jika tidak melampaui daya dukung dan memenuhi siklusnya selama 25 tahunan, tidak akan mengganggu fungsi lingkungan. Akan tetapi karena peningkatan jumlah penduduk yang relatif cepat, sementara luasan areal hutan semakin berkurang, memaksa daur perladangan semakin pendek, sehingga akhirnya terjadi kerusakan hutan dan lahan. Akibatnya pengurangan areal hutan akan semakin meningkat dan dampaknya terhadap lingkungan hidup, khususnya tata air akan semakin parah. Pada akhirnya akan menganggu kehidupan manusia itu sendiri.


2.1.1. Kajian Perladangan Berpindah dari Perspektif Para Ahli

Perladangan berpindah (untuk selanjutnya disebut perladangan) terdapat di banyak tempat di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Perladangan dimulai dengan pembukaan hutan. Di daerah dengan musim kemarau, yang jelas pembukaan dilakukan pada akhir musim hujan. Hutan yang dibuka lebih disukai hutan sekunder, yang pernah mereka buka daripada hutan primer. Dahan dan batang pohon yang ditebang diletakkan sejajar dengan garis kontur. Biomassa hutan dibiarkan menutupi permukaan tanah.

Pada akhir musim kemarau, biomassa dibakar, sehingga mineral yang terkandung dalam abu dapat dengan mudah lepas ke dalam tanah. Penanaman dimulai pada permulaan musim hujan. Jenis yang ditanam dipilih yang sesuai dengan kebutuhannya dan kondisi ekologi. Peladang tradisional menanam jenis yang diperlukan mereka sendiri, dan hanya sedikit untuk dijual atau dibarter, misalnya dengan garam dan baju.

Setelah dua-tiga tahun ladang ditinggalkan, dan dibuka hutan baru. Mereka berpindah-pindah dan kembali pada hutan yang pernah mereka buka setelah 15-20 tahun. Selama itu hutan telah menjadi hutan sekunder yang baik.

Pada banyak perladangan, tempat pemukiman tidak ikut berpindah-pindah. Mereka hanya membuat gubuk sementara dekat ladangnya untuk menjaganya. Tetapi, pada perladangan yang banyak menggunakan ternak, kampung ikut berpindah. Kehidupan merupakan nomadik dan ini banyak terdapat di Afrika.
Perladangan didasarkan pada kearifan tradisional. Hutan yang dibuka bukanlah sembarang, melainkan dipilih dengan seksama berdasar indikator tertentu, antara lain jenis tumbuhan, tanah dan topografi. Penebangan pada akhir musim hujan mengurangi kehilangan lengas tanah, karena penguapan oleh pohon-pohonan dari permukaan tanah (evapotranspirasi) dalam musim kemarau.

Sementara itu selama musim kemarau, biomassa menjadi kering, sehingga pembakaran dapat berjalan baik. Cara-cara tertentu dilakukan untuk membatasi kebakaran. Pembakaran biomassa dilakukan, karena pada hutan hujan tropik, tanahnya miskin mineral, sedangkan biomassa mengandung banyak mineral. Tetapi, peladang Cina yang menanam teh juga, tidak membakar biomassa, karena teh tidak suka pada derajat keasaman yang rendah (pH yang tinggi).

Jadi, para peladang tahu syarat pertumbuhan tanaman mereka. Kayu yang diletakkan sejajar dengan garis kontur menahan erosi. Peladang tidak menganggap kecambah pohon-pohonan hutan yang tumbuh sendiri sebagai gulma. Mereka sama marahnya, jika seorang tamu menginjak tanamannya ataupun kecambah pohon hutan. Mereka tahu kelangsungan hidupnya tergantung dari hutan, sehingga pertumbuhan kembali hutan harus dijaga. Uraian di atas bersifat sangat umum. Banyak terdapat variasi perladangan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain iklim.

2.1.2. Pola Pertanian Masyarakat Adat di Kalimantan

Masyarakat suku Dayak di Kalimantan sering dianggap kumpulan orang yang bermukim di dalam atau di pinggir hutan dan hidupnya berpindah-pindah untuk menebangi areal hutan yang satu ke areal lainnya. Bila dikaji lebih dalam, ternyata masyarakat suku Dayak sangat beraneka ragam baik bahasa maupun budayanya. Masyarakat suku Dayak secara tradisi telah menggeluti pertanian daur ulang dan bergaul secara harmonis dengan hutan.

Banyak prinsip hidup dan budaya mereka yang selaras dengan kaidah keseimbangan dan kelestarian alam. Praktek perladangan berpindah (daur ulang) ternyata tidak berbanding lurus dengan pengurangan sumber daya hutan. Para peladang tradisional suku Dayak lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan sekunder) daripada empak (hutan primer).

Dalam sistem perladangan berpindah, kampung dapat pula berpindah-pindah. Tetapi ada juga yang kampungnya menetap dan orang membuat gubuk sementara di tempat ladangnya. Sangatlah menarik bahwa banyak peladang mengetahui, kelangsungan hidup mereka bergantung pada hutan. Karena itu, kecambah tumbuhan hutan yang tumbuh di petak ladang mereka, tidaklah dimatikan.

Tumbuhan itu dibiarkan tumbuh, walaupun mendesak tanaman mereka dan akhirnya memaksa mereka untuk pindah. Pemilihan tempat berladang yang baru, tidaklah dilakukan secara acak. Pada banyak peladang, mereka mengirimkan dulu orang yang berpengalaman untuk melakukan survei dan memilih tempat yang dianggap sesuai.
Pemilihan tempat itu dilakukan berdasarkan petunjuk tertentu, misalnya jenis tumbuhan yang digunakan sebagai indikator kesesuaian tanah. Pengetahuan para peladang tentang tumbuhan, hewan dan faktor fisik yang berkaitan dengan perladangan seringkali menakjubkan. Anggapan bahwa perladangan berpindah merusak lingkungan, tidaklah benar.

Masyarakat suku Dayak Kalimantan selalu diacu sebagai perambah dan perusak hutan, hanya karena mereka melakukan perladangan berpindah. Cara bertani yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak ini memang banyak memanfaatkan hutan. Belum banyak orang mengerti apalagi menyadari bahwa masyarakat tradisional Dayak yang dianggap primitif tersebut mempunyai budaya melestarikan hutan dan plasma nutfah.

Uraian di atas tidaklah dimaksudkan untuk mempertahankan diteruskannya sistem perladangan berpindah. Kondisi lingkungan telah berubah, penduduk terus bertambah. Kebutuhan lahan untuk macam-macam keperluan juga bertambah, sedangkan perladangan berpindah yang tradisional memerlukan lahan yang cukup luas. Sistem itu tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungan sekarang.

Pada masyarakat tradisional di Kalimantan, nuansa keeratan hubungan dengan lingkungan hidupnya, terutama hutan, sangat terasa. Masyarakat suku Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan, sebagai sumber daya yang mendukung kehidupannya. Walaupun perladangan berpindah seringkali dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan hutan, tetapi masyarakat suku Dayak mempunyai komitmen untuk tetap melestarikan hutan.

Hal ini didukung oleh adanya hukum adat yang memberikan sanksi kepada mereka yang merusak hutan. Hukum yang tidak tertulis ini merupakan kesepakatan di antara mereka dan sangat dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan.


2.1.3. Perladangan dan Kerusakan Lingkungan

Terdapat perdebatan yang sangat seru antara pendapat, bahwa perladangan menyebabkan kerusakan lingkungan, dan yang membantahnya. Keduanya dapat benar atau salah, tergantung dari kondisi perladangan itu. Peladang yang hidup secara subsisten dari ladangnya dan melakukan teknologi tradisionalnya dengan baik, tidaklah menyebabkan kerusakan lingkungan yang berarti.

Gambar 1. Kerusakan serta Gangguan Perladangan di Kalimantan Barat

Dengan daur perladangan yang panjang, kerusakan itu dapat pulih. Tetapi, karena pertumbuhan penduduk yang meningkat, daur makin pendek. Hutan pun makin lama makin tidak dapat pulih dengan baik. Pertumbuhan penduduk disebabkan oleh antara lain, pelayanan kesehatan yang makin jauh menjangkau para peladang dan pelarangan perang antarsuku. Yang akhir ini digambarkan dengan jelas dalam buku ilmiah tentang suku Tsembaga di PNG.

Menyusutnya luas hutan yang tersedia untuk perladangan dan pembatasan gerak para peladang, memperpendek juga daur perladangan. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan lahan hutan untuk transmigrasi, pembalasan, pertambangan, dan lain-lain.

Batas-batas internasional juga merupakan pembatasan keleluasaan gerak, misalnya antara Kalimantan (Indonesia) dan Borneo Utara (Malaysia). Pembatasan gerak tradisional banyak sekali terjadi di Afrika, karena berdirinya banyak negara yang merdeka di derah bekas jajahan Inggris, Perancis dan Belgia.

Faktor yang sangat penting adalah juga ekonomi pasar, yang pengaruhnya makin luas ke pedalaman. Makin banyak peladang yang menjual hasil perladangan mereka untuk mendapatkan uang, radio, alat kosmetika. dan lain-lain. Makin besar pengaruhnya, makin luas lahan yang mereka butuhkan.

Ditanam pula komoditi dengan cara yang merusak lingkungan, baik oleh peladang maupun oleh pedagang, misalnya lada. Banyak pula peladang yang belajar, bahwa kayu bulat mempunyai nilai ekonomi. Kayu itu mereka jual dan tidak lagi mereka bakar untuk membebaskan mineral di dalamnya. Mereka juga belajar untuk menggunakan gergaji mesin. Hutan pun makin rusak.

Kerusakan hutan diperparah lagi dengan datangnya imigran untuk mencari pekerjaan, misalnya di Kalimantan Timur. Banyak di antara mereka yang menjadi peladang, tanpa mengetahui teknologi perladangan. Kerusakan yang disebabkan oleh mereka tidaklah kecil.

Jumlah pedagang tradisional makin berkurang. Walaupun belum ada data, dapatlah diperkirakan, jumlah mereka sudah lebih sedikit daripada peladang yang telah berubah dan yang baru. Perubahan itu sebagian dipaksakan, sebagian lagi atas kemauan mereka sendiri. Dihentikannya perang antarsuku adalah perubahan yang dipaksakan, perbaikan kesehatan adalah perubahan karena persuasi, dan ekonomi pasar perubahan yang mereka lakukan sendiri. Ketiganya menguntungkan mereka. Sebaliknya, pembatasan ruang gerak adalah perubahan yang dipaksakan dan merugikan mereka. Dapat diperkirakan, perubahan akan terus berlangsung dan kerusakan hutan akan terus bertambah. Hari depan para peladang tidaklah cerah.

2.2. Budidaya Tanaman Pangan

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia. Daya dukung terhadap aktivitas sehari-hari yaitu seberapa banyak pasokan energi yang diperoleh oleh tubuh melalui makanan (bahan pangan). Banyak pula usaha yang dirintis oleh manusia di bidang pangan dalam pemenuhan kebutuhannya.

Usaha yang terus berkembang, baik dari beberapa kajian serta penelitian ialah dalam teknik budidaya tanaman pangan. Integrasi teknologi baik dari kualitas serta kuantitas yang ada semakin memperlihatkan hasil yang signifikan. Akan tetapi keberlanjutan serta keberlangsungan sistem budidaya tanaman pangan tersendat dengan semakin meningkatnya populasi penduduk Indonesia maupun dunia pada masa sekarang ini.

Semakin banyaknya populasi, maka pemenuhan kebutuhan akan pangan itu tadi semakin bertambah pula. Akan tetapi daya dukung alam (tanah, air, kehutanan hingga perkebunan) sangatlah terbatas serta irreversible (sulit diperbaharui). Beberapa usaha untuk merehabilitasi hingga konservasi lahan pertanian, kehutanan serta perkebunan terus digalakkan akan tetepi dengan penerapan teknik yang asal-asalan, kerusakanpun tidak terelakkan.

Budidaya tanaman pangan yang dilakukan oleh tenaga-tenaga penggerak pertanian disini dilakukan baik dari hulu hingga hilir secara bertahap serta simultan. Teknologi yang diterapkan, dimulai dari teknologi pra hingga pasca panen.

Proses penanaman hingga panen dapat terlihat secara lebih lanjut dari intensitas penanaman yang diterapkan dalam pola penanaman baik dimulai dari rekomendasi pusat hingga para petani serta pekerja kebun untuk kembali meningkatkan potensi pertanian yang ada serta hasil yang optimal.

Kembali kepada kebutuhan manusia yang ada, antara lain ialah yang bergerak pada budidaya tanaman non padi dan budidaya tanaman padi. Pangan di Indonesia seolah-olah mencitrakan kekhususan padi saja, akan tetapi tanaman pangan non padi lain hanya dianggap sebelah mata. Padahal disini apabila melihat dari potensi gizi yang ada, tanaman pangan non-padi tersebut tidak kalah penting dan kaya akan gizi yang diperlukan sebagai pasokan gizi masyarakat.

Usahatani yang diterapkan di masyarakat semakin beragam sesuai dengan potensi tanaman yang ditanam sehingga optimalitas kembali tercapai. Peningkatan tingkat keragaman usahatani ini sangat berhubungan pada teknologi yang terus berkembang.

2.2.1. Intensitas Penanaman

Intensitas penanaman ialah waktu relatif yang berlaku pada masa penanaman kegiatan pertanian yang dilaksanakan. Intensitas Penanaman (IP) disini mempengaruhi luas lahan yang ada di bidang pertanian. Untuk lebih lanjut, pemaparan mengenai intensitas penanaman dapat dilihat pada contoh kasus berikut yaitu mengenai pemanfaatan lahan sawah menurut intensitas pertanaman di Kabupaten Siak, tahun 2005. Dengan kondisi lahan sawah maka pemanfaatan lahan sawah menurut jenis irigasi yang ada, maka hal ini jelas akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan lahan tersebut dalam hal ini Indeks Pertanaman (IP), yang pada akhirnya akan mempengaruhi total luas tanam tanaman pangan dalam satu tahun serta pengaruh lebih jauh adalah jumlah produksi yang dihasilkan dari lahan tersebut. Gambaran pemanfaatan lahan sawah menurut intensitas pertanaman sebagaimana tertera pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1. Pemanfaatan Lahan Sawah Menurut Intensitas Pertanaman di Kabupaten Siak, Tahun 2005

No

Kecamatan

Luas Intensitas Penanaman (Ha)

Total (Ha)

IP - 100

IP - 200

1.

Siak

57,00

-

57,00

2.

Sungai Apit

2.264,00

-

2.264,00

3.

Minas

-

20,00

20,00

4.

Kandis

50,00

-

50,00

5.

Bungaraya

1.449,00

1.818,00

3.267,00

6.

Tualang

55,00

-

55,00

7.

Koto Gasib

125,00

-

125,00

8.

Dayun

75,00

-

75,00

9.

Kerinci Kanan

-

-

-

10.

Lubuk Dalam

-

-

-

11.

Sungai Mandau

215,00

-

215,00

Jumlah

4.290,00

1.838,00

6.128,00

Dari Tabel 1. diatas terlihat bahwa dari total lahan sawah seluas 6.128 Ha, sebagian besar, yaitu 4.290 Ha atau 70,01% ditanami satu kali setahun atau Indeks Pertanaman (IP) 100, sedangkan lahan seluas 1.838 Ha atau 29,99% sudah ditanami dua kali setahun atau IP 200. Bila dilihat lebih jauh ternyata sebagian besar lahan yang ditanami dua kali setahun tersebut berada di Kecamatan Bunga Raya, yaitu seluas 1.818 Ha atau 98,91% dan sisanya Kecamatan Minas, yaitu seluas 20 Ha atau 1,09% dari lahan yang IP 200. Bila dikaitkan dengan data kondisi pengairan sebagaimana tertera pada Tabel Pemanfaatan lahan sawah menurut jenis irigasi di atas, maka lahan ini merupakan lahan irigasi setengah teknis.

Luas intensitas penanaman satu kali setahun (IP-100) Kabupaten Siak Tahun 2005 meningkat sebesar 300 Ha atau 7,51 Ha sedangkan luas intensitas penanaman dua kali setahun (IP-200) menurun menjadi 103 Ha atau 5,6%.

Disini pula dapat terlihat kepastian pola pananaman tergantung kepada intensitas penanaman tanaman yang hendak dibudidayakan. Oleh karena itu keberlanjutan pertanian ialah tergantung pula kepada sejauh mana perhitungan intensitas penanaman yang ada. Ini semua diharuskan adanya suatu kerjasama yang sinkron serta berkesinambungan baik antara para petani dengan penyuluh pertanian, Dinas Pertanian, Departemen Pertanian dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) guna menentukan pola intensitas penanaman yang baik serta tepat dan optimal.

2.2.2. Budidaya Tanaman Pangan Non Padi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, budidaya tanaman non padi saat ini di Indonesia merupakan anak tiri pada bidang pangan. Kenyataan yang ada tidak sejalan dengan kebutuhan asupan gizi untuk manusia dari tanaman pangan non padi ini.

Menanggapi kenaikan harga pangan dunia, kita tidak perlu panik dan pesimis apalagi sampai kolaps, semestinya hal itu menjadikan kita lebih tertantang dan tambah berfikir menghadapinya. Sumberdaya alam kita masih ada yang dapat digunakan tanpa harus memaksakan dengan cara alih fungsi lahan atau hutan lindung menjadi lahan produksi pangan. Misalnya: Lahan kering di Indonesia, terutama di luar Jawa bahkan di Jawa pun sekian juta hektar masih sebagai lahan tidur belum dimanfaatkan padahal potensinya dapat ditanami palawija bahkan padi gogo yang toleran kekeringanpun sudah tersedia benihnya.

Kedelai termasuk yang kena dampak kenaikan harga dunia dan sangat mempengaruhi produktivitas pengusaha tahu/tempe dan industri lainnya di dalam negeri. Oleh karena itu perlu segera menanggulanginya dengan cara antara lain dengan memperluas sentra produksi kedelai di lahan kering. Kedelai masih toleran ditanam pada lahan kering, mampu menghasikan 1,5-2 ton/ha.( Prov. Lampung 2006).

Departemen Pertanian (Deptan) pada tahun 2008 siap mengembangkan tanaman kedelai di daerah yang bukan produsen padi dan jagung untuk mengimbangi penurunan produksi komoditas tersebut pada tahun 2007.

Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimuso di Jakarta, mengatakan pengembangan kedelai di daerah sentra produksi padi dan jagung tidak akan maksimal karena akan terjadi persaingan lahan bagi ketiga komoditas pangan itu. Oleh karena itu pada tahun 2008 kedelai akan dikembangkan di daerah yang tidak bersinggungan dengan padi dan jagung.

Daerah-daerah yang dinilai memiliki potensi untuk pengembangan kedelai dan lahannya tidak akan bersaing dengan komoditas padi maupun jagung antara lain Aceh Darussalam, Jambi dan Nusa Tenggara Barat (Alimuso, 2008). Apabila peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan pengembangan di Jawa ataupun Lampung, maka lahannya harus bersaing dengan pertanaman padi dan jagung sehingga tidak akan optimal.

Produksi kedelai pada tahun lalu menurun 18,64 persen dibanding 2006. Mengutip angka ramalan (Aram) III Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2006 produksi kedelai nasional sebanyak 747.611 ton namun pada 2007 diperkirakan hanya 608.263 ton (Alimuso, 2008).

Salah satu penyebab turunnya produksi kedelai tersebut karena terjadinya kompetisi lahan dengan padi, jagung, tebu dan tembakau serta rendahnya produktivitas areal pertanaman. Padahal kedelai merupakan tanaman yang termasuk kedalam kategori tanaman pangan (Alimuso, 2008)

Pada 2008 Deptan menetapkan sasaran produksi kedelai sebanyak 750 ribu-800 ribu ton dengan produktivitas 13,55 kuintal per hektar sementara luas tanam diharapkan mencapai 620 ribu ha dan luas panen 590 ribu ha.

Di Amerika Serikat yang merupakan produsen kedelai dunia, produktivitas tanaman lebih dari 3 ton per hektar, oleh karena itu apabila Indonesia ingin memacu peningkatan produksi komoditas tersebut maka produktivitasnya juga harus dinaikkan (Suharto, 2008).

Upaya yang akan dilakukan Deptan untuk meningkatkan produksi kedelai 2008 diantaranya melalui dukungan perbenihan sebanyak 14.400 ton untuk areal seluas 360 ribu hektar, jumlah tersebut belum termasuk penyediaan benih bersubsidi di pasar sebesar 5.500 ton. (Media Indonesia, Jakarta)

2.2.3. Budidaya Tanaman Padi

Sebagai komoditas ekonomi, padi diusahakan oleh lebih dari 18 juta petani, menyumbang hampir 70% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tanaman pangan, memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan sumbangan pendapatan sekitar 25-35%. Oleh sebab itu, padi tetap menjadi komoditas strategis dalam pembangunan pertanian.

Walaupun daya saing padi terhadap beberapa komoditas pertanian lain cenderung turun, upaya peningkatan produksi padi mutlak diperlukan karena sangat terkait dengan ketahanan pangan nasional.

Untuk mendukung upaya peningkatan produksi padi nasional, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Tujuannya antara lain mengingkatkan produktivitas padi, meningkatkan keuntungan usaha tanimelalui efisiensi input, melestarikan sumberdaya lahan dan air untuk keberlanjutan sistem produksi.

PTT merupakan pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani padi melalui penerapan komponen teknologi unggulan seperti penanaman varietas unggul baru, penggunaan benih bermutu, perlakuan benih sebelum tanam, penanaman bibit muda (berumur 15 hari), pemakaian bahan organik, bagan warna daun untuk menetapkan kebutuhan pupuk nitrogen dan analisis tanah untuk menetapkan takaran pupuk fosfat dan kalium bagi tanaman, serta perbaikan penanganan panen dan pascapanen. Komponen teknologi di suatu wilayah dapat berbeda dengan wilayah lainnya, bergantung pada masalah setempat.

Dalam pengembangan model PTT melalui kerjasama penelitian dan pengkajian dalam periode 1999-2002 di sentra produksi, hasil padi berkisar antara 7.2-7.9 ton/Ha dengan peningkatan 24-37% dibandingkan budidaya konvensional.

Gambar 2. Model pengelolaan tanam terpadu, efisien dalam penggunaan pupuk, benih, dan air irigasi

2.3. Pola Tanam

Pola tanam adalah gambaran rencana tanam berbagai jenis tanaman yang akan dibudidayakan dalam suatu lahan beririgasi dalam satu tahun. Pola tanam ditentukan oleh faktor-faktor berikut :

a. Ketersediaan air dalam satu tahun

b. Prasarana yang tersedia dalam lahan tersebut

c. Jenis tanah setempat

d. Kondisi umum daerah tersebut, misalnya daerah genangan

e. Kebiasaan dan kemampuan petani setempat

Macam pola tanam :

a. Padi – Padi (Monokultur)

b. Padi – Padi – Palawija (Multi croping)

c. Padi – Palawija – Palawija

d. Padi – Tebu – Palawija (Glebagan)

Contoh pola tanam yang sekarang dalam proses pengembangan yaitu pola tanam hutan rakyat. Secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam dan berbeda di setiap daerah, baik cara memilih jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Pada umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh masyarakat petani dapat diklasifikasikan pada 2 pola tanam yaitu murni (monokultur) dan campuran.

1. Hutan Rakyat Campuran

Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur), seperti di Pulau Jawa untuk jenis sengon, jati dan di Lampung untuk jenis damar mata kucing. Dari jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan ekonominya kurang dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman.

2. Hutan Rakyat Campuran

a. Hutan Rakyat Campuran (Polyculture) dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan, seperti sengon, mahoni, dan suren, yang kombinasinya berbeda pada setiap daerah. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dari pada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel, hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

b. Hutan Rakyat Campuran dengan sistem agroforestry/wanatani:pola ini merupakan bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti jenis kayu-kayuan (sengon, jati), buah-buahan (petai, nangka), tanaman industri (kopi, melinjo), tanaman pangan (singkong, jagung), hijauan makanan ternak (rumput gajah), tanaman obat-obatan (kapolaga, jahe), lebah madu dan lainnya. Kelebihan pola tanam ini yaitu mempunyai daya tahan yang kuat terhadap serangan hama, penyakit dan angin. Secara ekonomis dapat diperoleh keuntungan ganda yang berkesinambungan melalui panen harian, mingguan, bulanan dan tahunan, serta tenaga kerja yang terserap akan lebih banyak dan berkelanjutan.

Beberapa contoh hutan rakyat campuran yang telah berhasil di usahakan adalah di Klaten dan Wonosobo (Awang, dkk. 2001), dimana komposisi tanaman yang diusahakan adalah :

a. Tanaman Kayu + Tanaman Perkebunan + Tanaman Semusim

b. Tanaman Kayu + Tanaman Perkebunan + Tanaman Buah

c. Tanaman Kayu + Tanaman Semusim + Tanaman Buah + Tanaman Perkebunan

d. Tanaman Kayu dan Tanaman Perkebunan

2.4. Usahatani

Usahatani merupakan bentuk kegiatan pertanian.

Dengan adanya suatu inovasi mengenai teknik atau pola tanam yang dirancang oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan yaitu PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), maka kami akan memaparkan beberapa teknik kongkrit yang ada.

Dalam model PTT, benih yang diperlukan hanya 24 kg , sedangkan dalam usaha tani pada non-PTT 40kg/Ha. Takaran pupuk N, P, dan K dalam model PTT masing-masing 15%, 5%, dan 75% lebih efisien daripada usaha tani padi non-PTT. Meskipun biaya produksi padi 8% lebih besar, keuntungan yang diperoleh dari peneapan model PTT 35% lebih tinggi daripada usaha tani non-PTT (Tabel 2).

Tabel 2. Perbandingan penggunaan input dan hasil padi dalm model PTT dan non-PTT di 26 propinsi

Selama ini petani telah terbiasa memupuk tanaman padi sesuai dengan rekomendasi pemupukan yang berlaku umum. Di daerah tetentu, petani bahkan menggunakan pupuk dengan takaran yang tinggi. Penggunaan pupuk N secara berlebihan tidak hanya berdampak pada peningkatan biaya produksi, tetapi juga menyebabkan tanaman mudah terserang hama penyakit, mudah rebah, perkembangan gulma lebih cepat, tercemarnya lingkungan oleh unsur nitrat, nitrit, dan gas N2O. Sebagian lahan sawah intensifikasi telah terjadi pula akumulasi hara P akibat intensifnya penggunaan pupuk P.

Dalam model PTT, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan unsur hara di tanah. Untuk menentukan kebutuhan pupuk N bagi tanaman digunakan bagan warna daun (BWD), yaitu alat sederhana pengukur tingkat kehijauan warna daun padi yang dilengkapi dengan empat skala warna. Kalau tingkat kehijauan daun tanaman padi kurang dari empat pada skala BWD, berarti tanaman perlu diberi pupuk N. Sebaliknya, tanaman tidak perlu lagi diberi pupuk N jika tingkat kehijauan daunnya berada pada skala empat. Kebutuhan pupuk P dan K tanaman padi ditentukan berdasarkan hasil analisis tanah.

Sebagian besar petani belum memperhitungkan efisiensi penggunaan air irigasi. Hal ini tercermin dari penggenangan tanaman padi secara terus-menerus, mulai dari setelah tanam hingga menjelang panen, dengan tinggi genangan mencapai 10 cm. Padahal tanaman padi yang diairi dalam selang waktu tertentu (intermitten irrigation) memberikan hasil yang relatif sama tingginya dibanding kalau tanaman diairi secara terus-menerus.

Dalam model PTT, tanaman padi diairi secara berselang. Manfaat penerapan teknologi pengairan berselang ini adalah memberi kesempatan bagi akar tanaman untuk memperoleh aerasi yang cukup, mencegah keracunan besi pada tanaman, mencegah penimbunan asam-asam organik dan gas H2S yang dapat menghambat perkembangan akar, menaikkan temperatur tanah sehingga dapat mengaktifkan mikroba bermanfaat, membatasi perpanjangan ruas batang sehingga tanaman tidak mudah rebah, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan tingkat kematangan gabah, memperpendek umur tanaman, serta menghemat penggunaan air irigasi sekitar 30-40% sehingga areal sawah yang diairi lebih luas.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pengusahaan sumberdaya lahan di Indonesia dapat diupayakan melalui beberapa sistem pertanian diantaranya yaitu sistem pertanian perladangan berpindah (shifting cultivations) yang merupakan sistem pertanian tradisional yang kini dengan penerapan teknologi modern serta alih fungsi teknologi yang tepat guna dapat mendukung produktivitas serta potensi pertanian yang dikembangkan secara berkelanjutan. Selain itu pengusahaan sumberdaya lahan dapat diupayakan melalui penerapan budidaya tanaman pangan baik itu tanaman padi maupun non padi. Budidaya tanaman pangan ini dilakukan oleh tenaga-tenaga penggerak pertanian, serta dilakukan baik dari hulu hingga hilir secara bertahap serta simultan. Teknologi yang diterapkan, dimulai dari teknologi pra hingga pasca panen. Pengusahaan sumberdaya lahan juga dilakukan melalui pola tanam yang baik serta usahatani yang menerapkan model PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) atas rekomedasi Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan hasil produksi pertanian di Indonesia.

3.2 Saran

Dari bahasan makalah ini, kami berharap agar pertanian di Indonesia dapat ditingkatkan melalui beberapa sistem pertanian yang dijabarkan di atas sehingga dapat mendukung produktivitas sumberdaya lahan untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Djauhari, A., 2002. Budaya Melestarikan Hutan di Kalimantan. Sinar Harapan. Februari. Jakarta

Media Indonesia.Deptan Siap Kembangkan Kedelai di Daerah Non Padi. Update terakhir : 14 January 2008. www.media-indonesia.com . Diakses tanggal 27 September 2008

Pasaribu, Mulyadi. 2008. POLA PENGELOLAAN PERTANIAN PANGAN DALAM PERSPEKTIF LINGKUNGAN HIDUP. Sylva Indonesia.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2008. Sistem Produksi Padi Hemat Input. Bogor

Ruskandi. 2003. Prospek Usaha Tani jagung Sebagai Tanaman Sela Di Antara Tegakan Kelapa. Buletin Teknik Pertanian Vol. 8. Nomor 2.

Sistus Resmi Kabupaten Siak : http://kabupaten-siak.co.id Diakses tanggal 27 September 2008

Soemarwoto, Otto. 1991. Peladang dan Kabut. KOMPAS. November. Jakarta

Windawati, Nina. TINJAUAN TENTANG POLA TANAM HUTAN RAKYAT. www.dishut.jabarprov.go.id Diakses tanggal 30 September 2008

Wiriadiwangsa, Dedik. 2008. Budi Daya Kedelai Di Lahan Kering
. www.puslittan.bogor.net. Diakses tanggal 27 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar